Pernah ada masa di mana kita mengadili dan menjatuhkan hukuman pidana terhadap babi, anjing, dan semut untuk merespons masalah yang mereka timbulkan. Namun kemudian muncul ide bahwa suatu makhluk hanya layak disalahkan bila ia melakukan perbuatannya dengan sengaja dan mengerti konsekuensinya. Karena kesengajaan tersebut hanya bisa dibuktikan secara meyakinkan dalam diri manusia, hari ini kebanyakan sanksi pidana dijatuhkan hanya terhadap manusia.
Ide 'hukuman' hanya masuk akal bila si terhukum dianggap bisa memilih-milih tindakannya secara sadar dan rasional. Seorang pemerkosa layak dihukum karena, di antara pilihan tindakan-tindakan yang ada, dia memilih untuk menyakiti orang lain. Pada saat menghukumnya, negara sedang 'memberi pelajaran' kepada pemerkosa tersebut. Mengutip kata-kata Gerald Bradley:
“The goal of punishment, in short, is the undoing of the criminal’s bold and unjust assertion of his own will.”
Hukum-menghukum kemudian menjadi kebijakan favorit pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Ada pemuda menyalahgunakan obat terlarang? Kurung saja di penjara agar insyaf. Ada bapak-bapak melampiaskan dorongan seksual terhadap anak kecil? Kurung juga agar kapok. Kedua fenomena ini mungkin disebabkan kondisi psikologis dan neurologis yang berbeda pada diri para pelakunya, tapi solusinya sama: kurung semuanya. Bagaimana bila masalah yang sama masih muncul? Deklarasikan keadaan darurat, buat peraturan presiden dan kurung lebih lama (tambahkan juga ancaman hukuman mati bila perlu). Bagaimana bila masalah itu muncul lagi? Kemungkinan pada tahap ini kita tidak peduli lagi karena sedang disibukkan oleh skandal pembunuhan atau korupsi yang baru terkuak.
Kalau saja kita berani memperluas wawasan, kita akan menemui fakta yang (mungkin) mengganggu tentang rasio dari pemberlakuan hukuman. Ternyata penemuan-penemuan baru tentang otak manusia memperlihatkan bahwa manusia tidak se-‘rasional’ yang kita kira dalam memilih tindakannya.
Memangnya, bagaimana sih cara kita mengambil tindakan? Mungkin Anda familiar dengan ilustrasi berikut. Suatu pagi Anda duduk membaca koran di halaman rumah. Di koran tersebut ada iklan sepeda motor. Gambar di iklan tersebut membuat Anda mengingat kerabat Anda yang memiliki sepeda motor. Kemudian di benak muncul adegan saat Anda bertengkar dan mengucapkan kata-kata kasar terhadap kerabat tersebut. Sesaat Anda menjadi sedih dan menyesal, lalu segera menghubungi kerabat tersebut untuk menanyakan kabarnya.
Sekilas, pilihan untuk menghubungi kerabat tersebut terlihat wajar dan rasional. Tetapi coba pikir lagi apakah memang benar seluruh proses tersebut ada dalam genggaman Anda. Siapa yang menyuruh Anda memikirkan motor tersebut? Apakah―dari sekian banyak pikiran yang dapat dipikirkan―Anda memilih sendiri untuk tiba-tiba memikirkan kerabat Anda tersebut? Apakah selanjutnya Anda memilih sendiri untuk memikirkan saat-saat pertengkaran tersebut, yang pada akhirnya membuat Anda menjadi sedih sendiri?
Kita tidak tahu dan tidak bisa mengatur pikiran-pikiran apa yang muncul di benak sesaat lagi, satu jam lagi atau pada detik ke-38 di jam 3:41 besok sore. Mereka muncul tanpa diatur dan pada akhirnya kita hanya diberi kesempatan untuk merespons (atau mengabaikan).
Anda mungkin beruntung karena memiliki benak yang kerap memunculkan pikiran dan dorongan yang tidak merugikan orang lain. Tapi bagaimana dengan seseorang yang kerap memiliki dorongan untuk mengonsumsi obat terlarang atau bertindak agresif terhadap pasangannya?
Perbedaan kecenderungan ini bisa dipengaruhi oleh gen, lingkungan, ataupun struktur otak. Supaya lebih jelas, kita bisa melihat kisah Phineas Gage. Hidup di abad 19, Phineas bekerja di sebuah proyek pembangunan rel kereta api di Vermont, Amerika Serikat. Suatu hari, ia mengalami kecelakaan di mana sebuah tiang besi menghujam kepalanya dan merusak bagian prefrontal korteks di otaknya. Anehnya, ia tidak meninggal dan dapat terus beraktivitas setelah menjalani perawatan. Kecelakaan tersebut tidak mengubah kapasitas intelektualnya, namun teman-temannya melihat adanya perubahan sikap yang drastis dalam diri Phineas. Ia menjadi antisosial dan agresif setelah kecelakaan tersebut.
Kisah Phineas menginspirasi para ahli kognitif dan neurologi untuk meneliti hubungan antara kondisi fisik otak dan dorongan perilaku. Sejak saat itu sampai sekarang, telah banyak penelitian―termasuk terhadap 279 veteran perang Vietnam―yang menegaskan bahwa prefrontal korteks adalah bagian yang memengaruhi rasionalitas, intelektualitas, dan moral manusia.