Seperti yang dibahas di “Deparpolisasi, Uber dan Status Quo,” partai politik seringkali menjadi saluran aspirasi yang tersumbat. Namun mereka masih berguna sebagai pengusung calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta mendatang. Dalam hal ini Ahok punya pilihan: apakah ia ingin menggunakan partai politik secara bijaksana atau tidak.
Kegunaan Praktis
Saat berdiskusi di sebuah episode Mata Najwa tentang kesempatan untuk maju melalui jalur independen, Ahok pernah menjelaskan:
“Di sini saya harus memilih. (Di) satu pihak, istilah saya, ikut PDI-P naik Mercedes-Benz S Class, disiapin supir, sampai tujuan (ke) kota. Ini Teman Ahok ‘ni nggak jelas ‘ni sebetulnya ‘ni. Ini bisa kumpulin (KTP dukungan) apa nggak?”
Penjelasan ini mengiaskan bagaimana partai politik memiliki sarana-sarana untuk merekrut dan memfasilitasi seseorang meraih jabatan politik. Sarana ini bisa berbentuk organisasi penggerak kampanye (mesin politik), pengaruh terhadap media massa dan perolehan kursi di parlemen sebagai modal untuk mengusung calon gubernur.
Walaupun begitu—tidak seperti calon-calon lainnya yang membutuhkan semuanya—Ahok hanya membutuhkan usungan partai. Ahok tidak membutuhkan bantuan untuk meraup elektabilitas. Seperti yang dikatakan seorang peneliti dari Saiful Mujani Research & Consulting, “Ahok mau independen atau koalisi partai sama-sama dapat dukungan publik.”
Sebenarnya usungan partai politik pun hampir tidak dibutuhkan sama sekali. Dari segi administratif, pengusungan Ahok lewat jalur independen tadinya bisa diupayakan oleh Relawan Teman Ahok. Namun partai politik berhasil mengamankan signifikansinya dengan mengeluarkan peraturan yang membuat pencalonan independen menjadi kian sulit.
Ahok akhirnya tidak dapat menolak “Mercedes-Benz S Class” yang ditawarkan Partai Hanura, Nasdem dan Golkar. Melalui tagar Twitter “#BalikinKTPgue,” sebagian warga Jakarta yang telah mendukung Ahok kemudian menuntut KTP-nya dikembalikan (tuntutan ini aneh, karena KTP tersebut memang tidak pernah disita).
Ada pengamat yang berteori bahwa upaya Ahok untuk maju melalui jalur independen selama ini sebenarnya hanyalah drama untuk meningkatkan posisi tawarnya di hadapan partai politik. Menurut teori ini, mungkin tujuan akhir Ahok dari awal adalah memang untuk maju melalui partai politik. Teori ini lemah.
Seperti yang telah dijelaskan, tadinya Ahok punya kesempatan untuk maju dan menang melalui jalur independen. Bila sukses, kemenangan Ahok sebagai calon independen akan jauh lebih melambungkan reputasinya dibandingkan bila ia maju sebagai calon partai politik. Masyarakat akan menjadi saksi sejarah bagaimana seorang figur—tanpa afiliasi partai politik—berhasil menggerakan jutaan rakyat untuk mengusung dan memilihnya dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Bila kita mengesampingkan diberlakukannya peraturan baru tentang verifikasi KTP, Ahok tidak punya alasan kuat untuk melakukan “mating dance” di hadapan partai politik.
Dengan maju melalui partai politik, Ahok membuang kesempatan itu. Lebih masuk akal bila kita memandang keputusan ini sebagai upaya Ahok untuk memperjuangkan kesempatannya menjadi calon gubernur.
Harga
Apakah Ahok bersalah dengan mengambil keputusan ini—atau apakah, bila bersalah, ia patut dimaafkan—bergantung kepada pandangan kita masing-masing. Tapi yang jelas, ada harga yang perlu dibayar. Keputusan Ahok untuk maju lewat partai politik bisa membuatnya berseberangan dengan konstituen yang akan menentukan kemenangannya—warga DKI Jakarta.
Ini karena partai politik dan rakyat adalah dua pihak berbeda yang seringkali berseberangan. Sekali lagi: partai politik adalah saluran aspirasi yang kerap tersumbat. Sebuah studi menunjukan bahwa mesin partai gagal mempengaruhi pilihan politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah di Kota Bitung. Secara umum, seorang peneliti dari Poltracking Indonesia pernah mengatakan:
“Di pilkada, kekuatan figur lebih utama daripada mesin partai. Selama ini telah terbukti, di banyak pilkada, partai gagal memberikan sumbangsihnya selain berupa rekomendasi.”