Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, berpendapat bahwa kebijakan pengetatan remisi narapidana dapat menyempitkan peluang para narapidana untuk memperbaiki hidupnya. Di tengah jumlah penghuni yang kian menyesakkan lembaga pemasyarakatan (lapas), pupusnya niat narapidana untuk memperbaiki diri dapat memicu pergesekan yang berujung pada tindak kekerasan. Sentimen ini menyinggung dua masalah yang menarik, yaitu (i) bagaimana harapan akan kehidupan yang lebih baik berperan dalam merehabilitasi perilaku narapidana; dan (ii) problem kelebihan kapasitas yang dialami lembaga pemasyarakatan kita.
Menjadi Penjahat karena Keterbatasan Pilihan Hidup
Pembinaan perilaku narapidana dapat dikembangkan dengan membuka kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki hidup. Pendapat ini terinspirasi dari penemuan ilmiah terkait sifat kecanduan zat adiktif. Ada pelajaran berharga, dalam memahami kecenderungan untuk melakukan tindak pidana, yang dapat dipetik dari fenomena kecanduan zat adiktif―bahwa keterbatasan pilihan dapat mendorong manusia untuk melakukan tindakan tercela.
Dalam bukunya, Chasing the Scream, jurnalis Johann Hari menjelaskan polemik kecanduan zat adiktif dengan menarik. Cerita dimulai pada era 80-an, pada saat di Amerika Serikat beredar iklan yang menggambarkan eksperimen di mana beberapa tikus diberikan zat adiktif melalui botol air. Tikus-tikus tersebut dengan lahap terus mengonsumsi zat tersebut sampai akhirnya mati.
Namun kemudian disadari bahwa kandang tempat tikus-tikus tersebut ditempatkan kosong―tikus-tikus tersebut tidak memiliki kegiatan apapun selain mengkonsumsi zat adiktif. Hasil temuan yang berbeda didapat saat seorang ilmuwan memodifikasi eksperimen tersebut dengan melibatkan kandang yang dilengkapi dengan mainan-mainan, kehadiran tikus lain dan makanan yang berkualitas. Tikus-tikus di kandang alternatif ini ternyata jauh lebih jarang mengkonsumsi zat adiktif dibanding dengan mereka yang ditempatkan di kandang yang terisolasi.
Penemuan di atas selayaknya menginspirasi kita dalam menilai keberhasilan pembinaan di lapas. Sebelum menyimpulkan bahwa suatu metode gagal, sebaiknya kita memastikan dulu bahwa para narapidana sudah diberikan kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Tanpa itu, lapas hanya akan menjadi tempat isolasi manusia.
Kecanduan Negara terhadap Sanksi Penjara
Di Indonesia hampir semua tindak pidana diberi sanksi penjara—dari tindak pidana yang keji seperti pembunuhan (Pasal 338 KUHP) sampai tindak pidana yang terkesan administratif seperti pemberi kerja tidak menyetorkan iuran BPJS pekerjanya (Pasal 55 yang dibaca bersama-sama dengan Pasal19(1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2011). Tidak aneh bila kapasitas lapas kalah jauh dibanding jumlah narapidana. Ada tiga upaya yang dapat dilakukan negara untuk mengatasi permasalahan ini.
Pertama, negara dapat memberlakukan dekriminalisasi―penghapusan sanksi pidana bagi beberapa tindakan tertentu (yang tidak terlalu keji). Tentunya tindakan-tindakan yang didekriminalisasi masih dapat dikenai sanksi hukum lain seperti sanksi administratif. Bila diterapkan, orang-orang yang sudah terlanjur dipenjara karena melakukan tindakan-tindakan yang didekriminalisasi dapat mengajukan upaya peninjauan kembali untuk bisa dilepaskan (berdasarkan Pasal 263(2)(a) KUHAP dan Pasal 1(2) KUHP).
Kedua, terhadap pelaku tindak-tindak pidana yang tidak bisa didekriminalisasi dapat dikenakan dengan sanksi pidana selain penjara. Dalam Pasal 10 KUHP, kita mengenal jenis-jenis sanksi pidana selain penjara seperti pidana kurungan, denda dan perampasan barang. Selanjutnya para ahli dan legislator juga sedang merembukan jenis-jenis sanksi pidana alternatif seperti paksaan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan sebagainya. Sudah saatnya kita mengeksplorasi sanksi pidana alternatif untuk dikenakan terhadap pelaku  tindak pidana yang tidak terlalu berat.
Ketiga dan terakhir, bila kedua upaya di atas tidak berhasil juga dalam mengatasi problem overcapacity, maka kita perlu mendiskusikan kemungkinan negara ini meminta pihak swasta untuk membangun lapas-lapas baru. Memang banyak kemungkinan buruk yang harus diwaspadai terkait skema lapas swasta ini—di Amerika Serikat, misalnya, ada pengusaha lapas swasta bersekongkol dengan hakim untuk memenjarakan sebanyak mungkin terdakwa demi meningkatkan penghasilan lapas. Diskusi publik tentang hal ini mulai dibangun agar kita semua mulai memiliki wawasan dan dapat menentukan sikap.