Mohon tunggu...
marfian ersanta
marfian ersanta Mohon Tunggu... Akuntan - Mari menulis

Dalam tapi santai

Selanjutnya

Tutup

Money

Resolusi 2020: Diet Belanja Impor

25 Desember 2019   17:51 Diperbarui: 25 Desember 2019   18:14 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudahkah anda membuat resolusi tahun 2020? Saya sarankan anda menambahkan dua hal yang akan merubah gaya hidup anda di tahun 2020, atau paling tidak ingatkan rekan sejawat anda tentang dua hal tersebut. Apa itu? Kurangi merokok dan belanja online impor. 

Dua hal tersebut,  di tahun 2020 tidak perlu disandarkan pada alasan klasik menjaga kesehatan diri ataupun menjaga kesehatan keuangan. Ada alasan dan itung-itungan yang lebih mashok untuk mengurangi merokok dan belanja online impor, yaitu naiknya cukai rokok rata-rata 23% dan turunnya batas bea impor 'gratis' dari semula US$ 75 menjadi US$ 3, yang artinya belanja impor 45 ribu rupiah (kurs 15.000) akan dikenakan bea impor 7,5% plus PPN dan PPh. Maka bapak-bapak yang seusai makan harus ada yang dihisap, kemungkinan kedepan akan cukup puas dengan gigit jari melihat harga rokok menjadi hampi 50 ribu per packnya. Serta bagi para ibu-ibu yang selalu menanti panggilan nyaring abang-abang kurir berteriak "pakeet", harus mulai menahan rindu melihat bungkusan yang terhampar di teras atau tercentel di pagar.

Masalah kenaikan harga rokok tidak akan saya bahas, sebab hal tersebut sudah diributkan dan didemokan sejak beberapa bulan yang lalu. Toh saya juga bukan perokok, sehingga tidak mengalami langsung penderitaan rekan-rekan sejawat ahli hisab. Saya lebih memikirkan kebahagiaan ibu-ibu yang terancam terenggut mana kala kran impor barang fashionista imut-imut berharga murah mulai diutak-atik. Para marketplace yang masih 'membakar uangnya' sangat senang membakar semangat kita untuk belanja dari luar negeri dengan memberi gratis ongkir. 

Dalam kehidupan sebelumnya barangkali orang desa dari ujung Aceh hingga ujung Papua tidak pernah terbayang membeli baju anak berdesain mewah, dibawah 100 ribu rupiah, langsung dari luar negeri. Ketika ada tetangga yang bertanya "Beli dimana bu baju anaknya, lucu sekali?", dengan lembut namun jelas akan dijawab "Dari luar negeri bu". 

Bila yang ditanya adalah seorang yang rendah hati dan tidak sombong, maka akan ditambah penjelasan bahwa harganya murah, dan membuat kaget si penanya karena harganya lebih murah daripada baju yang biasa dijual di pasar malam. Semakin menyebarlah virus belanja online impor sehingga DJBC mencatat secara terperinci, nilai barang kiriman pada tahun 2017 mencapai US$ 290 juta, kemudian meningkat pada tahun 2018 menjadi US$ 540 juta dan kemudian naik menjadi US$ 673 juta bahkan hingga belum tutup tahun 2019. 

DJBC pun memprediksi bahwa hingga Desember, bisa saja nilai barang kiriman akan mencapai US$ 700 juta - US$ 800 juta. Sementara dari data tahun 2019 tersebut, sebanyak 98% barang memiliki nilai di bawah US$ 75. Dari segi jumlah juga terjadi kenaikan drastis. Jika pada 2017 cuma 6 juta, pada 2018 naik menjadi 19,5 juta barang dan hingga November 2019 sudah hampir 49 juta (kompas.com).

Atas kenyataan tersebut, maka tidak salah bila dikatakan saat ini pasar Indonesia dibanjiri produk Impor yang memanfaatkan channel e-commerce. Bagi konsumen, adanya banyak pilihan barang murah, berkualitas, dan mudah diperoleh merupakan suatu keuntungan, namun bagi perekenomian secara umum, hal tersebut membahayakan. UMKM yang memproduksi barang serupa akan kalah bersaing dari sisi biaya produksi. Kalau sebelumnya seseorang mengunjungi pasar malam seminggu sekali hanya untuk membeli jepit rambut, sekarang ini mungkin sudah tinggal duduk manis menunggu kiriman jepit rambut yang lebih imut-imut dari China.

Pasar malam bubar, industri jepit rambut lokal pun bubar. Industri lokal sekarat, pengangguran meningkat, semua orang pun harus berhemat. Jangankan beli jepit rambut, mengisi perut pun mungkin harus dengan ribut.

Globalisasi dan disrupsi teknologi merupakan hal yang nyata terjadi dan semua orang harus bersiap. Namun negara yang baik, adalah negara yang melindungi kesejahteraan rakyatnya secara umum. UMKM adalah salah satu unsur ekonomi yang wajib dilindungi dan dikuatkan dari dampak globalisasi dan disrupsi teknologi, agar dapat bertahan dan bersaing di tengah kompetisi global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun