Mohon tunggu...
Ahmad Hendra Marfiadi
Ahmad Hendra Marfiadi Mohon Tunggu... -

Komentar-komentar konyol dari orang awam :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Itinerary to KL

16 Agustus 2011   16:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam rangka memuaskan hasrat untuk jalan-jalan. Kami dan teman-teman dari Helpdesk kembali mengadakan jalan-jalan bersama. Setelah tahun lalu melakukan perjalanan "ngirit" ke Singapura, kali ini kembali melakukan perjalanan "ngirit" ke luar negri. Dengan modal tidak sampai Rp 300.000 kami berhasil mengantungi tiket pp dari Air Asia ke Kuala Lumpur. Pemesanan dilakukan pada pertengahan 2010 dan perjalanan baru dilaksanakan tanggal 26-29 Juli 2011 ini. Seperti pameo yang ada "murah kok mau cepet" :)

Proses pencaharian hotel dilakukan secara berhati-hati dan secermat-cermatnya. hotel yang tipilih harus nyaman, strategis dan murah tentunya. Padahal proses pencarian hanya dilakukan lewat online. Satu per satu hotel ber-website diamat-amati dengan penuh praduga. Setelah melalui proses yang ketat maka dipilihlah hotel Nana's Inn. Letaknya strategis, dekat sekali dari Bukit Bintang, salah satu pusat kota Kuala Lumpur. Nyaman karena berbentuk apartemen, sehingga diyakini dapat memuaskan keinginan kami akan hotel yang memiliki tempat pertemuan dan tentunya irit: ditotal-total haja 5 juta rupiha per tiga hari untuk sepuluh orang alias setiap orang hanya perlu mengeluarkan Rp 500.000 untuk tiga hari di KL.

Berbeda dengan perjalanan di Singapura yang relatif aman, banyak kisah tragis yang terjadi dalam perjalanan kali ini ke KL. Awalnya dirasakan bahwa perjalanan ini akan sesukses perjalanan di singapura. Beberapa resort telah kami kunjungi: Genting Highlands, Chinatown, Pasar Seni, Menara Petronas danm nonton film-film hollywood yang tidak bisa masuk Indonesia. Sungguh kemajuan Malaysia telah mebuat ku berdecak kagum... ah, kapan Jakarta seperti ini. Mirip dengan Singapura tapi sedikit lebih semrawut tetapi lebih murah. Keunggulan lainnya: gampang cari tempat sholat dan tidak perlu ragu-ragu memesan makanan di sini. Namun pada saat perjalanan pulang barulah kisah-kisah tragis itu terjadi.

Kami sudah harus check-out dari hotel siang hari sedangkan pesawat kami baru take off pukul 10 malam. Akhirnya kami putuskan untuk mentipikan barang di hotel dan melanjutkan perjalanan di KL. Ada beberapa oleh-oleh yang belum terbeli. Seorang rekan, Mas Tris mengundurkan diri dari rombongan hanya beberapa ratus meter berjalan kaki dari hotel. Kami menganggap beliau terlalu capek dan kami usulkan agar beliau beristirahat saja di lobby hotel, sedangkan kami terus melanjutkan perjalanan. Sepulangnya dari perjalanan kami segera menuju bandara. Sempat terpikir untuk menggunakan taksi ke Bandara bahkan sempat memesan karena mengingatkan keadaan Mas Tris, tapi.. sulit sekali memperoleh taksi saat itu. Jumat malam menjelang bulan puasa pula. akhirnya kami menggunakan public transportation saja, naik monorel dahulu kemudian bus ke bandara.

Dalam perjalanan antara monorel dan bus, Mas Tris terjatuh dan tidak bisa bangun lagi. Haduh.... Apa yang terjadi? Masak capek sampai segitunya. Akhirnya kami bergantian membopong Mas Tris, dan menggunakan kursi roda di bandara. Sedikit catatan, sulit mendapatkan bantuan yang cukup bila kita memintanya dalam bahasa Indonesia, namun berbeda hasilnya bila kita memintanya dalam bahasa Inggris. Itu pengalaman berkali-kali yang saya rasakan: saat bertanya, meminjam kursi roda, dsb. Akhirnya saya sarankan pada teman-teman untuk gunakan Bahasa Inggris saja apabila ada keperluan dengan petugas-petugas di sana. Untung bahasa Inggrisku tidak jelek-jelek amat. Bahakn dengan gaya kebule-bulean saya bisa ngomelin mereka dalam Bahasa Inggris. hi hi hi. Mungkin sekali saya dianggap Filipina atau negara lain yang lebih mereka hormati, ketimbang Indonesia. Masa bodohlah.

Saat sudah tenang menunggu boarding pesawat, seorang teman, Limanto memberi "kejutan" lain. Dengan panik sepanik-paniknya dia mencari-cari paspornya yang hilang. Bayangkan saat itu boarding tinggal 15 menit lagi!! Saya berusaha tenang dan meminta beliau menanyakan ke imigrasi, sebab satu-satunya tempat yang ada kemungkinan terselip hanya ada di situ. Benarlah, setelah bertemu dengan polisi-polisi Malaysia yang seragamnya lebih mirip satpam di Indonesia itu akhirnya ditemukan paspor tersebut. Hsiuhh.. tak dapat dibayangkan bila dalam 15 menit itu sang paspor tidak dapat ditemukan. Limanto ditinggal? Most probably....

Akhirnya sampai juga di tanah air. Seorang teman diminta mengawal Mas Tris dengan taksi sampai ke rumah. Saya langsung pulang. Capeeekkkk... Oh iya, ternyata Mas Tris mengalami kerusakan syaraf tulang belakang di bagian lumbal. Sampai setengah bulan masih belum bisa jalan. Cepat sembuh, mas Tris. KL yang berkesan... Sangat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun