Cancel Culture adalah sebuah fenomena yang marak terjadi dalam dunia maya belakangan ini. Secara harfiah, cancel berarti membatalkan dan culture berarti budaya. Arti tersebut merujuk pada alamiah dari fenomena cancel culture yang digunakan untuk menghukum, menolak, atau memboikot seorang individu atau institusi tertentu atas suatu perilaku, ucapan, atau tindakan yang telah diperbuatnya.
Beberapa tahun belakang, terjadi banyak diskursus mengenai apa makna dan tujuan dari cancel culture itu sendiri. Apakah itu sebuah alat untuk meminta pertanggungjawaban dari seseorang, memberikan hukuman yang seringkali tidak adil kepada orang tersebut, atau bahkan campuran dari keduanya.
Salah satu media sosial yang kerap menjadi tempat bersarangnya cancel culture adalah Twitter, atau yang sekarang dikenal sebagai X. X dihuni oleh kasarnya 429 juta orang pengguna secara global dan setidaknya 27 juta diantaranya adalah orang Indonesia. Aplikasi dunia maya seluas itu yang menyajikan informasi juga menyediakan tempat untuk menyebarkan informasi dengan sangat cepat tentunya menjadi alat yang cocok untuk mengeksekusikan praktik cancel culture ini.
Contoh dari fenomena ini di X adalah gerakan #MeToo yang dicetuskan sebagai bentuk solidaritas kepada para korban kekerasan seksual dan bentuk perlawanan terhadap para pelakunya. Saat itu, yang menjadi target utama dari cancellation tersebut adalah Weinstein Harvey yang merupakan produser film terkenal di Hollywood setelah terkuaknya informasi bahwa ia telah melakukan tindakan kekerasan seksual.
Ada banyak perdebatan mengenai keefektifan dari cancel culture itu sendiri. Beberapa orang berpendapat bahwa fenomena ini terjadi karena adanya beberapa pihak yang menemukan opininya berbeda dengan pihak lain lalu terjadi sebuah mentalitas massa dan melakukan tindakan cancellation terhadap pihak lain. Ada pula yang beranggapan bahwa cancel culture adalah bentuk penyensoran  dengan hukuman yang ekstrim atas pendapat atau perilaku orang yang kita anggap salah. Tentunya, perdebatan-perdebatan tersebut memaparkan beberapa pro dan kontra dari fenomena dunia maya ini.
Secara garis besar, cancel culture memiliki dampak yang baik yakni berdirinya akuntabilitas sosial dimana masyarakat luas dapat memberikan tekanan sosial sebagai sebuah hukuman atau bentuk pertanggungjawaban kepada tokoh publik, perusahaan, atau bahkan instansi. Dengan adanya cancel culture, perubahan sosial dapat dengan lebih cepat dilakukan karena tereksposnya ketidakadilan bahkan yang terjadi kepada masyarakat marginal. Sehingga hal tersebut mempermudah terbentuknya norma sosial yang baru.
Adapun dampak buruk dari cancel culture salah satunya adalah kurangnya proses penghukuman yang tepat dan adil karena seringkali cancel culture dilakukan secara sepihak tanpa banyak pertimbangan dari dua sisi. X juga seringkali dijadikan sebagai medan tempur perdebatan antar suku, agama, ras, dan golongan sehingga terjadinya cancel culture dapat memperkeruh polarisasi antar masyarakat. Selain itu, beberapa orang berpendapat bahwa cancel culture membatasi kebebasan berpendapat sehingga membuat orang-orang takut untuk menyuarakan opininya yang dapat dinilai kontroversial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI