Pagi membosankan buat Meiske. Ia kembali menemukan suaminya sudah asyik dengan batu-batu akiknya di ruang tamu. Segelas kopi masih mengepulkan asapnya.
“Menikah aja dengan batu-batu akikmu, Pa,” katanya sinis, membanting tubuhnya tanpa memandang suaminya.
“Edan kamu ya...” komentarnya singkat. Matanya terus mengamati batu-batu akiknya.
“Tiada waktu tanpa batu. Aku diangguri terus. Percuma kita banyak uang Pa kalau Papa jadi nggak perhatian sama aku....”
“Nggak usah lebai. Biasa aja. Kalau aku nggak perhatian sama kamu dan berpaling kepada wanita lain, itu baru kamu boleh cemburu. Masa’ kamu cemburu sama batu-batu akik ini?”
“Bukan gitu, Pa. Tapi, sejak booming batu akik, kamu berubah 180 derajat.”
“Kayaknya cuma perasaan dek Meiske aja.”
Meiske memperlihatkan wajah sewotnya.
“Tidur masih kutemani. Kalau kamu mau begitu pun aku selalu siap tempur. Ke pasar masih kuantar. Dan aku hampir nggak ke mana-mana. Kapan kamu butuhkan aku selalu siap. Aku bahkan sudah jadi suami siaga bahkan sebelum kamu hamil dan melahirkan.”
“Tapi sikap Papa dingin. Nggak hangat seperti sebelumnya.”
Sardan tertawa.