[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock | Admin"][/caption]NURMA tak bisa menahan rasa heran dan geli membaca isi undangan peliputan yang siang itu ditemukannya tergeletak di meja kerjanya. Isinya, Peresmian Kampung Perempuan. Upacara peresmian dilakukan seorang bupati bernama Rahwani. Dari namanya, tentulah bupati ini juga seorang perempuan.
“Undangan dari mana, Bos?” Nurma duduk di hadapan meja redakturnya, meletakkan undangan di ujung meja.
“Kamu tak bisa baca?”
“Aneh. Peresmian Kampung Perempuan.”
“Lebih baik kamu cek mobil operasional yang bisa kamu gunakan untuk sampai di sana,” kata sang redaktur yang tampak sibuk mengedit sebuah naskah feature. “Jangan lupa, kamu bawa sendiri mobil itu. Tak usah pakai sopir Pak Idham. Laki-laki tak boleh masuk kampung itu. Fotografer juga kamu ajak Yuni saja. Jangan Mas Kumbang. Ngerti?”
Dua hari kemudian, tepat pukul tujuh pagi Nurma bersama Yuni sudah berada di ujung kampung dengan sebuah gapura besar bertuliskan ucapan Selamat Datang di Kampung Perempuan. Keduanya berhenti sesaat tanpa alasan di pinggir jalan.
“Kok berhenti?”
“Aku ingin istirahat sebentar.”
Dari kejauhan, sepintas Nurma dan Yuni memang tak melihat sosok laki-laki di dalam kampung itu. Satu dua penduduk nampak keluar masuk. Semuanya perempuan. Beberapa mobil juga nampak memasuki kampung itu. Mungkin tamu-tamu yang diundang pada peresmian kampung. Dan, semuanya perempuan.
“Apa betul isi kampung ini cuma perempuan, Nur?”
“Kelihatannya begitu.”