“Kalau begitu...” kata Abdul Razak putus asa.
“Jangan...jangan saya...” Saleh memandang Abdul Razak dengan wajah memelas.
“Maksud saya....Badrun saja.”
Keduanya kemudian memandang Badrun yang duduk sudut kanan masjid dengan wajah tertunduk dan mulut terus berkomat-kamit melafazkan salawat.
“Saya setuju. Ya, Badrun saja,” wajah Saleh nampak semringah.
Keduanya pun melangkah mendekati Badrun. Saleh berada di sebelah kiri Badrun dan Abdul Razak berjongkok di sebelah kanan. Keduanya berbisik di telinga Badrun.
“Badrun, tolonglah. Kamu sekali ini jadi badal khatib dan imam. Pengganti imam dan khatib yang hari ini tidak juga kelihatan. Waktu salat hampir tiba. Tiga menit lagi,” bisik Saleh.
“Badrun, kamu kelihatan cocok. Kamu alim orangnya. Tidak neko-neko. Setiap saat bersalawat. Buktikan sekali ini saja bahwa kamu memang layak jadi imam dan khatib Jumat,” Abdul Razak menambahkan.
Sesaat kemudian terdengar azan pertama didengungkan. Keduanya duduk di kiri dan kanan Badrun hingga azan selesai.
Badrun gemetar. “Tidak. Tidak. Aku tak bisa apa-apa. Aku tak tahu apa-apa,” Badrun mengelak.
“Kamu pasti bisa, Drun. Kamu pasti bisa.”