CERITA Sandoro yang muntah-muntah kena semburan bau pete langsung dari mulut Alida dan dengan proses tak biasa itu cepat menyebar ke seantero sekolah. Menyebar seperti kabut asap di Sumatera dan Kalimantan.
Tanggapannya tentu saja beragam. Tapi, umumnya merasa geli dalam pengertian lucu, bukan geli dalam artian jijik. Komentar-komentar mereka beragam. Tapi, hampir dapat dipastikan, setiap kali ada yang mengulang cerita itu, ujungnya pasti disambung dengan pecahnya suara tawa.
Tak aneh jika keesokan harinya anak-anak kelas XI IPA-1 tak menemukan sosok Sandoro di dalam kelas.
“Pasti malu-lah,” kata salah satu teman sekelasnya.
“Mudah-mudahan si nggak DO,” kata yang lain.
Nuki, Edo, Iwan, dan Roni, empat sahabat Sandoro, terdiam. Tak ada yang berani membantah. Tak ada yang berani membela.
“Hei, Nuki!” teriak Cyntia, cewek di kelas Sandoro yang sejak lama sebel dengan kelakuan Sandoro. “Ke mana tu Ndoro-mu?”
“Iya! Sakit?” Meita menyambung.
“Kena batunya dia sekarang,” Cyntia masih berteriak. Suara tawa pun pecah dalam kelas itu.
*
Seperti dugaannya, Pak Baroto mencegat Alida sebelum anak itu masuk ke dalam kelas pagi keesokan harinya.
“Bapak minta penjelasan soal kejadian memalukan kemarin itu, Lida,” Pak Baroto langsung ke persoalan.
“Soal yang mana, Pak?” Alida pura-pura bego.
“Sudah, jangan pura-pura. Soal dengan Sandoro!”
“Bapak mau dengar kronologisnya?”
“Semuanya.”
Alida pun bercerita. Pak Baroto tertawa terkekeh begitu Alida menyelesaikan ceritanya.
“Kok Bapak ketawa? Bapak nggak marah?” Alida garuk-garuk kepalanya.
“Bapak marah, tapi itu lucu banget, Lida. Kamu kok bisa-bisanya menaklukkan orang cuma dengan buah pete.”
Alida mesem-mesem. “Sekarang Bapak tahu kan kalau orang Amerika itu benar? Bahwa buah pete itu the most horrible food in the world.”
Pak Baroto kembali ngakak.
“Tapi, Pak Baroto tahu nggak?” tanya Alida.
Pak Baroto menghentikan tawanya.
“Saya penggemar buah pete, Pak. Mengapa? Karena ternyata buah pete itu manfaatnya luar biasa.”
“Ah, sok tahu kamu.”
“Nih saya kasih tahu, Pak. Buah pete itu mengandung trytophon yang bisa ningkatin mood kita, Pak. Jadi, kalau kita suka makan pete, tubuh dan pikiran kita terasa nyaman...”
“Iya, tapi orang lain mabuk karena baunya....ha ha ha ha....” Pak Baroto ketawa lagi.
“Terus itu juga, Pak. Buat perempuan yang lagi PMS, maksudnya, premestruatual syndrome juga bisa lebih ngerasa nyaman. Gula dalam darah kita juga bisa terkontrol. Pete bahkan bisa nurunin tekanan darah tinggi dan mengurangi risiko stroke...”
“Sudah...sudah...” Pak Baroto memotong. “Kamu kok malah menceramahi saya soal pete?”
Alida cengengesan. “Satu lagi saya kasih tahu, Pak. Dibanding buah apel, protein pete empat kali lebih banyak, karbohidratnya dua kali lebih banyak, fosfornya tiga kali lipat, vitamin A dan zat besinya lima kali lipat....”
“Sudah....Kamu emang sok tahu...”
“Saya sudah boleh keluar, Pak?”
“Boleh. Tapi ingat, jangan pernah mengulangi hal itu lagi. Setidaknya, jangan pernah mengulangi caranya. Itu porno!”
“Tapi ampuh, Pak.”
“Sudah, pergi sana.”
Alida bangkit dari kursi di depan Wali Kelasnya.
“Kamu bawa pete juga hari ini?” tanya Pak Baroto sebelum Alida menghilang dari balik pintu.
Alida berhenti dan mengeluarkan potongan buah pete dari sakunya. Pak Baroto ngakak lagi.
*
Alida disambut sahabat-sahabat sekelasnya dengan riuh rendah. Tak cuma Indri, Tere, Inge, dan Lola yang merubungnya, tapi juga anak-anak perempuan yang lain.
“Kamu kena skors dari Pak Baroto?”
“Kamu diomelin Pak Baroto?”
“Apa kata Pak Baroto?”
“Lida!” teriak Gito. Alida menoleh kepada Gito. “Gue mau dong digituin kayak si Sandoro! Tapi, jangan pake makan pete dulu!”
Suara tawa pun pecah.
“Salut buat Alida!” teriak Wandi.
“Pokoknya, kalau ada yang neko-neko lagi, panggil saja Alida!”
“Alida si Pete siap beraksi!”
*
Waktu jam istirahat, anak-anak mendengar suara orang marah-marah di ruang guru. Sejumlah anak-anak pun tanpa dikomando berjalan ke sana. Kepingin tahu apa yang sedang terjadi.
Di dalam ruang guru, Alida melihat seorang laki-laki tengah menuding-nuding para guru, terutama Pak Baroto.
“Kalian tidak boleh membiarkan kenakalan yang keterlaluan terjadi di sekolah!” teriaknya. “Bayangkan, gara-gara ulah seorang anak perempuan yang makan pete lalu mencium anak saya, anak saya kini demam dan harus dirawat di rumah sakit. Mana anak itu?”
Alida saling berpandangan dengan teman-temannya. Rupanya orang itu tak lain ayah Sandoro.
Pak Baroto melangkah ke pintu. “Mana Alida?” ia setengah berteriak. Alida mengacungkan tangan. “Masuk kamu.”
Tanpa ragu, Alida masuk.
“Nah, ini anak yang kemarin mengusili anak Bapak,” kata Pak Baroto.
Laki-laki itu memandang Alida dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Kamu? Kamu yang sudah membuat anakku sakit?” ia bertanya kepada Alida. Suaranya tinggi. Menahan amarah.
“Sabar, Pak...” Pak Baroto coba menenangkan.
“Bapak diam saja!” ia menunjuk Pak Baroto. “Saya cukup sabar. Kalau tidak sabar, sudah saya hajar anak ini!”
Alida tersenyum. Dalam hati, ia bilang, ‘coba aja kalo berani.’
“Kamu jangan cengengesan ya!” ia melotot kepada Alida, seperti polisi lalu lintas yang memergoki pelanggar lalu lintas. “Saya datang ke sini untuk mengingatkan kamu dan semua orang di sekolah ini. Jangan pernah lagi melakukan hal-hal yang tidak-tidak. Jangan melakukan hal-hal di luar norma kesusilaan. Terutama kepada anakku!”
“Untuk kali ini, saya masih bisa memaafkan. Tapi saya tidak mau kejadian serupa terulang. Saya akan bertindak!”
Mata Alida terus memandangi orang itu. Namun, diam-diam, jauh di bawah sana ada angin yang diam-diam menerobos sebuah lubang gelap. Alida kentut. Beberapa saat kemudian, baunya menyebar.
Kentut pete.
“Hah! Bau apa ini? Bau apa ini?” ayah Sandoro berteriak-teriak. “Kurang ajar! Kurang ajar!” ia melanjutkan seraya kabur keluar ruangan menghindari kentut pete yang dikeluarkan Alida. “Ini ruang sekolah apa TPA?”
“Alida!” teriak Pak Baroto seraya ikut menutup hidungnya.
Alida kabur. (Bersambung, Insya Allah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H