Saya terkadang geram dan heran dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Khusus masalah BLSM, sudah hampir dua minggu digulirkan masih saja kisruh di mana-mana. Coba tengok di berbagai media teve, nenek-nenek tertatih-tatih demi 300 ribu, eh masih saja tega dipotong 100 ribu, ada juga anak-anak dan bayi terjepit di antrean, dan repotnya banyak pejabat di daerah marah-marah, mencari alibi malah mengajak berkelahi wartawan. Ini benar-benar di luar nalar saya.
Pejabat di pusat juga sepertinya sante-sante saja, malah sering berkelit data BLSM memang tidak akurat, bahkan menteri justru menyalahkan kepala desa. Repotnya, ini bukan zaman Orba, disudutkan begitu para kades marah-marah memaki Mendagri. Benar-benar edan zaman ini.
Kadang saya heran, sudah tahu bakal antre berdesak-desakan, kok ya tidak ada antisipasi. Dan, asal tahu saja, seikit para pejabat, maupun anggota dewan yang menyambangi pembagian BLSM ini.
Sebetulnya, mudah mengatur pembagian BLSM, asal rakyat kecil diperlakukan dengan layak, selayak-layaknya. Jika bank-bank bisa memberikan pelayanan dengan baik, mengapa giliran melayani orang miskin, kayak beginian.
Konon, Kalifah Umar, seorang pemimpin besar umat muslim, begitu menyayangi umatnya, suatu ketika ia rela memikul gandum untuk menyerahkan sendiri kepada orang miskin. Uniknya, orang miskin tersebut tidak mengetahui Beliau seorang kalifah karena kesahajaannya.
Kisah Umar ini sebenarnya bisa menjadi contoh para orang kaya negeri ini yang “gemar” bagi-bagi sembako atau zakat di bulan ramadan. Jika masih bisa berjalan, mbok ya datangi langsung para kaum miskin tersebut. Tidak perlu ada liputan media yang hanya memberitakan, desak-desakan dan kericuhan saat pembagian. Mengerikannya, dulu pernah terjadi belasan kaum dhuafa meninggal karena berebut zakat. Semoga tahun ini tidak ada lagi korban berjatuhan.
Salam,
mdy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H