Mohon tunggu...
Mardi Yanto
Mardi Yanto Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pembelajar

Seorang pembelajar dan penjelajah. Bagi saya mimpi sangat dekat dengan kenyataan. Mimpi juga sebenarnya tidak selalu terjadi saat seseorang sedang tertidur, atau di bawah alam sadar. Dalam kondisi sadar pun kita bisa bermimpi. Mimpi sebenarnya juga tidak identik dengan sesuatu yang sulit atau mustahil tercapai.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melawan Virus Lumpuh Menulis di Kalangan Guru

28 Juni 2013   19:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:17 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1372422940743070475

[caption id="attachment_271162" align="alignnone" width="448" caption="Kliping artikel di media massa cetak (koleksi pribadi)"][/caption]

Banyak kalangan menilai meski sudah ada peningkatan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi guru, namun kenyataannya belum diimbangi dengan peningkatan profesionalisme dari guru yang bersangkutan. Tak ayal, program sertifikasi guru kerap mendapat cibiran ketika profesionalisme guru tak beranjak. Bahkan wacana class action dari masyarakat kepada guru yang dianggap tidak berhasil dalam meningkatkan mutu pendidikan setelah adanya program sertifikasi guru sempat mengemuka di media massa.

Dalam hemat penulis, satu di antara kendala yang menghambat profesionalisme guru adalah rendahnya kemampuan membaca dan menulis- meminjam istilah dari Taufik Ismail bahwa bangsa ini terancam virus rabun membaca, lumpuh menulis, baik membaca buku maupun menulis karya ilmiah maupun non-ilmiah.

Padahal guru masa depan harus melek baca-tulis, seperti tertuang di dalam peraturan terbaru berkaitan dengan pengajuan kenaikan tingkat PNS guru, yakni Nomor PER/16/M.PAN-RB/11/2009. Setiap kali akan naik golongan, misalnya dari Golongan IIIB ke Golongan IIIC, setiap guru harus menyertakan lampiran pengembangan profesi dan penelitian tindakan kelas (PTK), yang kesemuanya menitikberatkan kemampuan menulis seorang guru. Ironinya, akibat dari rendahnya kompetensi menulis, banyak guru memplagiat atau memalsukan hasil karya karyanya.

Amunisi Guru!

Apakah rendahnya kemampuan menulis guru dikarenakan profesinya yang seorang guru? Tentu saja bukan, sejatinya guru memiliki segudang amunisi yang bisa dimuntahkan menjadi sebuah karya tulis. Sebab berbeda dengan profesi lainnya, guru merupakan sosok yang tak pernah berhenti berpikir, selalu bergerak mengikuti perkembangan zaman. Maka, sikap-sikap ilmiah seperti kritis, kreatif, inovatif, bahkan revolusioner semestinya bisa lahir dari rahim para guru. Maka tak berlebihan jika di era kemerdekaan dan revolusi kemerdekaan tokoh-tokoh sentral dan menentukan berasal dengan latar belakang seorang guru.

Apakah rendahnya kemampuan menulis guru dikarenakan upaya pemerintah yang setengah-setengah? Sejatinya pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk merangsang kemampuan menulis guru.  Misalnya program sayembara penulisan buku penunjang pelajaran yang rutin digelar setiap tahun.

Sayang celah-celah berbagai kompetisi menulis tersebut belum medapat respon optimal dari para guru. Sebab masih banyak keluhan dari berbagai kalangan berkait rendahnya kemampuan guru menulis baik karya tulis ilmiah maupun ilmiah populer.

Lantas pertanyaannya, mengapa persentase guru yang menulis atau menjadi penulis masih rendah? Padahal bangsa ini memiliki potensi dengan jumlah guru yang mencapai jutaan orang. Sementara jumlah penduduk negeri ini sebagai sasaran pembaca buku sudah lebih dari 200 juta jiwa. Bangsa ini sekarang baru mampu menerbitkan  8.000 sampai dengan 12.000 judul per tahun, jauh tertinggal dengan Malaysia yang menerbitkan sampai 30.000 judul per tahun.

Ada beberapa faktor yang coba saya petakan menjadi penyebab guru kesulitan mengembangkan kreatifitasnya dalam tulis-menulis. Pertama, kesibukan guru dalam proses belajar-mengajar. Banyak guru yang mengaku kesulitan mengatur waktu, apalagi acapkali guru masih dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang notabene di luar tugas pokok mengajar.

Kedua, berkait dengan kompetensi dan profesionalisme guru. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kualitas dan profesonalisme guru di tanah air belum sepenuhnya memuaskan. Rendahnya kompetensi dan profesionalisme ini mengakibatkan lemahnya iklim kepenulisan ilmiah di kalangan guru. Akibatnya menulis menjadi sesuatu hal yang sangat sulit, bahkan dihindari, akhirnya berimbas dengan berbagai kasus penjiplakan dan pemalsuan.

Ketiga, lemahnya kemauan, kreatifitas, dan keberanian para guru. Hal ini banyak saya temui di kalangan para guru. Banyak guru yang tidak “kepikiran” untuk menulis baik artikel maupun buku. Banyak guru juga awam tentang penulisan buku dan cara pengiriman naskah ke penerbit. Akibatnya banyak guru yang merasa minder, tidak percaya diri, atau bahkan melupakan hasrat untuk menjadi penulis dan larut dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas semata.

Lemahnya keberanian ini menyebabkan banyak penerbitan kesulitan mencari guru yang penulis. Akibatnya banyak penerbit yang mengorder tulisan kepada orang-orang yang notabene di bukan seorang guru. Uniknya buku tersebut lantas digunakan oleh para guru untuk mengajar. Tentu saja ini memilukan, sebab gurulah yang lebih tahu apa yang dibutuhkan para siswa.

Mardiyanto, Pendidik

Artikel ini saya gunting dari Koran Merapi, terbit Kamis, 27 Juni 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun