Mohon tunggu...
Jumardi Salam
Jumardi Salam Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Endonesia Tanah Air Beta

31 Maret 2014   19:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nama meskipun maksudnya sama terkadang penyebutannya berbeda, ambil contoh beberapa daerah di Sumatera Barat. Orang Minang terbiasa menyebut kota Jam Gadang dengan kota Bukiktinggi, terkadang disingkat menjadi Kiktinggi saja. Lalu apakah lafal tersebut sama dengan penulisannya? Ternyata tidak, tulisannya adalah Bukittinggi. Begitupun sohib saya yang bernama Zailani, di antara rekan ada yang memanggil dia dengan sebutan Jailani, padahal sangat jelas awal namanya huruf Z. Selanjutnya penulisan nama kota di Eropa Timur terkadang juga sulit kita pahami, misalnya Ibukota Ceko ditulis Prague dilafalkan Praha. Wah, beda banget. Dan yang aneh bin lucu plus menggelitik ketika mendengar penyanyi mendendangkan lagu dengan syair berikut: Endonesia Tanah Air Beta". Merdu sih, namun sejak kapan I diganti dengan E? Tapi itulah kenyataannya.

Pernah suatu ketika dalam penerbangan kembali dari Dubai ke Jakarta, saya transit di Bandara Changi Singapura, dan problem antara penulisan dengan lafal juga terjadi. Pada waktu berganti pesawat dengan Garuda dan akan melakukan check-in, di lokasi itu terdapat sebuah sign board yang bergantung di plafon, disitu terbaca: "Garuda Indonasia". Saya tidak tahu apakah itu sebuah kesengajaan atau memang mereka menulisnya memang demikian, yaitu mengganti "e" dengan "a". Unsur kesengajaan atau apalah namanya itu tak hanya berlaku di Singapura, karena di negara kita juga terjadi hal yang demikian, antara lain waktu menuliskan English dengan Inggris. Dalam angle yang lain bisa jadi juga ditafsirkan "mereka" Indonasia itu adalah Indon yang ada di Asia. Wah kalau begini, saya agak alergi juga. Indon? Tanya saya dalam hati berulang-ulang, kata-kata itu agak sensitif. Namun apa mau dikata kita tak punya hak untuk mempertanyakan itu, karena kita juga menuliskan Singapore dengan Singapur, bahkan terkadang Singapura.

Pagi tadi saya membaca status fesbuk rekan bernama Lz, seorang ibu rumah tangga berkebangsaan Brunei Darussalam. Petikannya kira-kira begini: "hari ni tiada jua perkerja India and Indon memotong rumput". Amboi melayunya, bertemu lagi saya dengan kalimat Indon. Aslinya Lz menulis "I"ndon dengan huruf kecil "i", tapi saya edit saja menjadi huruf kapital. Seketika bayangan saya menerawang kembali ke sign board di Changi sekitar sebulan yang lampau. Berarti kata-kata Indon ini sudah sebegitu melekatnya bagi negara-negara jiran kita, baik itu jiran yang bernama Malaysia, Singapura maupun Brunei. Beberapa waktu yang lampau kita pernah kurang senang dengan sikap media Malaysia yang mempopulerkan kata-kata Indon, persepsi kita dengan penulisan seperti itu adalah pelecehan.

Nuansa terlecehkan barangkali karena mayoritas pemberitaan media di seputar TKI yang teraniaya, lalu TKI itu diberi label Indon. Sebelum kasus-kasus TKI merebak, kata-kata Indon juga tidak merebak meskipun mungkin sebenarnya masyarakat Malaysia sudah lama ber Indon-Indon. Tapi pada waktu itu kita (media) belum sempat marah-marah. Mari kita lihat penulisan nama sebuah negara yang juga pernah kita lakukan, apakah ketika Tiongkok disebut China orang Tiongkok juga marah? Saya tak paham.

Dalam kaitan ini barangkali kita terlalu memblow-up sebuah masalah, atau mungkin juga terlalu sensitif. Saya haqul yakin Lz seorang ibu rumah tangga Brunei itu ketika melakukan update status fesbuknya jauh dari maksud menghina, bahkan sedikitpun mungkin dia tidak pernah berpikiran demikian. Kita menjadi sensitif karena ternyata Si Indon itu hanyalah seorang tukang potong rumput, karena hanya seorang pekerja rendahan. Betulkah demikian?

Dalam hal hina menghina paling sering dilakukan oleh fans sepakbola Malaysia vs Indonesia. Terkadang ada juga antara Malaysia dengan Singapura, tapi perang antara fans Malaysia vs Singapura tidak separah Malaysia vs Indonesia, malahan tidak berlanjut karena Singapura tidak terlalu meladeni tingkah polah fans Malaysia. Pernah dalam perebutan piala AFF fans Singapura tanpa balas menghina, kesebelasannya melesat menjadi juara grup mengalahkan Malaysia dan Indonesia.

Kalah menang bukan karena hinaan tetapi karena prestasi, dan Singapura memperlihatkan prestasi. Oleh karena itu sebaiknya kita ke Malaysia ataupun ke Singapura dengan prestasi, antara lain prestasi TKI yang berkelas penuh wawasan luas sehingga disegani serta prestasi olahraga yang cemerlang. Dengan demikian sensitivitas kita akan makin berkurang, dan tak peduli lagi dengan sebutan Indan, Indon maupun Inden, bahkan kita mungkin bangga disebut Indon Sang Juara….!

Di salah satu sudut kota Kuala Lumpur saya pernah berbelanja, dan sang penjual dengan entengnya berkata yang kalau tak salah ingat pertanyaan dan jawabannya kira-kira begini:"Dari Indon ya?" "Benar.....!" Saya jawab dengan bangga. Yah buat saya itu hal yang biasa-biasa saja, karena dilihat dari raut wajahnya wanita penjual ini hanya rakyat biasa saja, wajah pinggiran, yang tidak mengerti politik dan tidak ada pula terlihat kesan merendahkan. Lalu? Yah tersenyum, dan biar sajalah. Mari kita bernyanyi: "Endonesia Tanah Air Beta".

Androecia Darwis

Bankir, tinggal di Bogor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun