Mohon tunggu...
Jumardi Salam
Jumardi Salam Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keluarga Mudik, Sakitnya Tuh Disini

29 Juli 2014   00:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah gambar, tertulis jelas kata: “Sakit itu disini”. Ya kira-kira itulah yang saya alamai, sembari memegang dada. Jelas saja, lha wong keluarga saya sedang mudik di kampung. Sabar, sabar dan sabar.

Duh, beberapa hari ini saya hanya bisa membayangkan uniknya Museum Lapawawoi , rumah adat Bola Soba, dan terowongan terpanjang bernama Gua Mampu. Ya, itulah objek wisata Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Masa-masa sekolah, bermain kelereng, mandi di sumur, dan berlayar mencari ikan ikut pula terbayang. Memang ya, kampung halaman sulit terlupakan.

Sebuah excuse memang dapat dipatahkan. Namun, orang seperti saya, yang baru saja menandatangani kontrak kerja, ya sulit. Kesalahan besar kalau mengambil cuti. Saya yakin, Allah pasti merencanakan yang terbaik untuk saya. Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.

Di media online, seorang sahabat menuturkan kisahnya. adalah Budiman. Suatu ketika, ia menemani istri dan putrinya berbelanja kebutuhan dapur di sebuah toko. Usai membayar, tangan-tangan mereka pun sarat dengan tas plastik belanjaan.

Usai berbelanja, istri Budiman dihampiri dua pengemis. Sebut saja Maya dan putri kecilnya, Santi. "Beri kami sedekah, Bu," kata Maya pada istri Budiman. “Ini Bu,” jawab istri Budiman singkat, sembari menyodorkan uang Rp 1.000 pada Maya.

Tatkala Maya mengetahui jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan, ia lalu menguncupkan jari-jarinya mengarah ke mulutnya. Kemudian, pengemis itu memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup ke mulutnya. Ya, seolah ingin berkata, "Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong tambahan sedekah, Bu!".

Melihat isyarat itu, istri Budiman menggerakkan tangannya seolah berkata, "Tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!".

Ironisnya, istri dan putrinya malah menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan. Pada kesempatan yang sama, Budiman berjalan ke arah Automated Teller Machine (ATM). Kebetulan, ia ingin mengecek saldo rekening. Ya, ia baru saja gajian.

Mengetahui saldonya telah terisi, ia pun mencairkan sejumlah uang bilangan jutaan. Kini, pecahan ratusan ribu menyesaki dompetnya. Dari pecahan tersebut, ia menarik uang Rp 10 Ribu yang terselip, lalu uang itu dilipat kecil guna memberikan tambahan sedekah pada Maya dan anaknya.

Betapa girangnya Maya menerima uang itu. Ia pun berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat penuh kesungguhan: "Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih, tuan. Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga, Diberikan kebahagiaan lahir batin, Anak-anak saleh dan salehah, keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Semoga pula diberikan kedudukan yang terhormat kelak di surga bersama sanak keluarga tuan ya."

Duar….!!!

Budiman benar-benar tak menyangka mendengar respon yang mengharukan itu. Bahkan sangat mengharukan. Ia mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh pengemis itu sungguh membuatnya terpukau dan membisu. Apalagi tatkala ia dengar Maya berkata kepada putri kecilnya, "Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga ya".

Deggg...!!!

Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya Maya sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian, mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana.

Budiman masih terdiam dan terpana di tempatnya, hingga istri dan putrinya menyapa. "Ada apa Pak?" Ucap Istrinya tatkala penasaran menyaksikan mata suaminya berkaca-kaca.

Dengan suara yang agak berat, Budiman menjelaskan: "Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak Rp 10 Ribu".

"Bu, aku memberi sedekah kepada mereka sebanyak itu. Saat mereka menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakanmu, anak-anak dan keluarga kita. Panjang sekali doanya,” lanjut Budiman.

Belum sempat istrinya berbicara, Budiman masih saja melanjutkan: “Padahal, Rp 10 saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Sebelumnya, ketika aku mengecek saldo di ATM tadi, disana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari Rp 10 Ribu. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa terlupa pula berucap hamdalah.

Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima Rp 10 Ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun berucap hamdalah."

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata. Beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari selama ini kurang bersyukur sebagai seoarang hamba.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku” (QS. 2:152).

Moga-moga Ramadan ini bisa menjadi bahan intropeksi.

Follow @mardiundercoer



Jumardi Salam

Samarinda, 28 Juli 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun