"Tahu kau mengapa aku sayang kau lebih dari siapapun? Karena engkau menulis. Suara mu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."Â
-Pramoedya Ananta Toer-
Demikian sepenggal kalimat dari percakapan tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh di dalam buku Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disebut "Pram") yang berjudul "Anak Semua Bangsa". Bagi Pram, menulis adalah "amanah" dari "tugas nasional" yang "harus dia tunaikan".
Sehingga, menulis baginya adalah perjuangannya dalam menyuarakan dan membela kebenaran, keadilan dan perikemanusiaan. "Menulis adalah tugas keabadian", sehingga dalam pernyataannya yang cukup popular berkata: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Secara pribadi, Pram menjadi model dalam kepenulisan disamping banyak tokoh lainnya, seperti Stephen Tong, Leo Tolstoy, Soe Hok Gie, BTP, Jhon Calvin, Abraham Kuyper, Aleksandr Solzhenitsyn dan lainnya. Dalam hal kepenulisan juga, para nabi-nabi dalam buku nabi-nabi dan tulisan para rasul di alkitab menjadi model yang pertama dan utama dari pembelajaran pribadi, yang hingga sekarang tetap dibaca dan pelajari. Jika menyusuri lebih jauh dan awal, TUHAN (juga) adalah TUHAN yang menulis, ketika DIA menulis hukum taurat yang diberikan kepada Musa dalam dua loh batu.
Tulisan-tulisan yang menyuarakan kebenaran, keadilan bagi kemanusiaan selalu memberikan dorongan semangat dan inspirasi dari 'sang penulis' dari generasi ke generasi. Dalam buku-nya Pram, terdapat karya popular yang disebut  "Tetralogi Buru" dari buku yang berjudul: 'Bumi Manusia', 'Anak Semua Bangsa','Jejak Langkah','Rumah Kaca'. Berkisah dari periode pertama, Bumi Manusia, dimana tokoh yang disebut 'Minke' sebagai aktor dan kreator berjuang menuju "manusia yang bebas dan merdeka".
Periode kedua, Anak Semua Bangsa, observasi dan mencari spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Periode ketiga, Jejak Langkah, memobilisasi segala daya dalam organisasi, jurnalistik dan perlawanan. Hingga periode keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial melawan kegiatan kaum pergerakan.
Lebih lanjut dari isi buku tersebut, dalam waktu yang ada kedepan, akan saya resensi-kan dan membuat review dari karya besar tersebut. Menjadi dorongan dan memberi inspirasi dalam menyuarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
"Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperolah kehidupan, kebenaran dan kehormatan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H