Mohon tunggu...
Kalis Mardi Asih
Kalis Mardi Asih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Guru Bahasa Inggris yang Hobi Membaca Novel-novel Chicklit

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Salahkan Jokowi Jika Ia adalah Kita

25 Juni 2014   00:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   11:20 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang sial sebab ditakdirkan menjadi pemilik ingatan. Kadangkala, ingatan menjadi beban yang memperberat langkah di keseharian. Tapi tak jarang, ingatan –apalagi sebuah ingatan tentang kebaikan seseorang- dapat menjadi semangat, inspirasi, teladan bahkan kekuatan serta semoga tak terlalu muluk jika saya katakan : sebuah kerinduan.

Ingatan tentang Jokowi

Ingatan tentang Jokowi memanifestasi semua ujud rasa dalam ekstase kebaikan yang melahirkan semangat gerak perubahan diatas. Di Solo, ingatan tentang sosok sederhana itu dapat anda bincang-dengarkan di warga yang sedang menikmati nasi kucing di gerobak hik (angkringan), pedagang pasar tradisional, penggerak industri kreatif pariwisata, batik dan mebel, warga bantaran sungai, Pedagang Kaki Lima, hingga para tukang becak dan buruh.

Bagi warga Solo, Spirit of Java telah melekat pada diri Jokowi. Spirit itu terbingkai dalam berbagai hasil kerja Jokowi yang hingga hari ini menghidupkan harapan baru para warga. Sebut saja berbagai festival yang berskala lokal hingga Internasional (Solo Batik Carnival, Solo International Performing Art, dll); taman-taman bermain di sepanjang sungai bengawan Solo (Taman Sekartaji, Taman Gulon, Taman Tempuran, Taman Jebres, Taman Cerdas Kentingan); tata kota yang teratur dan tertib karena relokasi PKL lewat dialog yang tanpa kekerasan; denyut para pedagang kecil di Car Free Day dan Pasar Malam tiap malam minggu di Mangkunegaran hingga sulitnya kita temui semacam hypermart sebab Jokowi sangat berkomitmen dalam menghidupkan ekonomi kerakyatan.



Joko Widodo dikenal sebagai pemimpin, bukan penguasa, sebab sering turun ke masyarakat untuk memahami masalah-masalah mereka secara langsung. Gaya memimpin “blusukan” hampir setiap hari dipraktikkannya dengan berkeliling kota, mengunjungi berbagai tempat, dan berbicara dengan warganya. Lewat metodenya ini, ia berharap mendapatkan jawaban sesungguhnya tentang akar masalah yang dihadapi warga, lalu mulai membuat langkah nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Kita paham bahwa setiap kemutakhiran kebijakan politik lahir dari data-data yang akurat. Namun, data-data yang diberikan kepada para pemimpin politik seringkali hanya bersumber dari tipuan dan kebohongan dibalik angka statistik serta muka dan mulut manis para birokrat yang tak bertanggungjawab. Padahal, semua hal itu seringkali berbeda dan bertentangan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat luas. Jokowi adalah praktisi politik kritis yang selama ini kerapkali diabaikan oleh para penguasa di Indonesia dan juga dunia, ia menolak untuk tunduk pada data statistik ciptaan para birokrat, dan berusaha memverifikasi semua informasi yang ia dapatkan. Rasa percaya dan kedekatan dengan warga yang merupakan fondasi masyarakat demokratis, tanpa disadarinya merupakan buah manis yang mengiringi kinerjanya.

Homo Esperans

Ingatan yang baik tentang Jokowi semakin riuh saya saksikan ketika saya berkesempatan menjadi instruktur bahasa inggris untuk para pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta. Mereka semua merindukan Jokowi namun sekaligus mengirimkan doa dan dukungan terbaik kepadanya agar berhasil memimpin DKI Jakarta. Saat itu tahun 2012, Jokowi baru saja terpilih menjadi Gubernur DKI setelah dua periode memimpin Solo dengan sangat apik. Dan ketika isu merebak bahwa Jokowi disinyalir akan maju pada pencapresan tahun ini, mereka pun menyatakan dukungan yang sepenuhnya.



Kala itu saya bertanya: “Mampukah Jokowi memimpin Negara sebesar Indonesia? Lha wong ketika mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta saja saat itu selalu dibanding-bandingkan. Katanya, Solo, kota yang kecil itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan Jakarta.”



Belakangan, saya menyesal kenapa ikut-ikutan membuat pertanyaan yang sama. Bukankah kondisi yang dialami Jokowi itu sebenarnya sangat dekat dengan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari? Sebut saja para calon mahasiswa baru yang mengadu nasib di kota-kota besar, dan anda semua orang yang berasal dari daerah dan hari ini berhasil menaklukkan Indonesia bahkan dunia Internasional lewat karya seni musik, film, sastra juga karya-karya kreatif lainnya, juga kalian semua petarung lain yang mencoba membangun harapan di tempat-tempat baru yang lebih besar dan menantang. Kita semua pernah mengalaminya. Kita “menantang” Tuhan dengan semua kemauan yang kita miliki dan dayagunakan serta sikap hidup sederhana dan tentu saja; keikhlasan. Jadi apa salahnya Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden? Jadi, jangan salahkan Jokowi jika ia adalah kita.



Ayolah. Kenapa kita dipaksa untuk menafikkan bahwa kita senyatanya adalah makhluk yang selalu berharap (homo esperans)? Kenapa seakan-akan kita tak boleh bermimpi? Kenapa kita harus lebih mempercayai mitos-mitos politik bahwa generasi pemimpin baru yang berasal dari kalangan muda yang bersih, penuh gagasan cemerlang dan jujur meskipun “baru hadir” itu tak boleh diciptakan?

Menyambut Generasi Baru

Kehadiran Presiden Republik Indonesia ketiga, Ir. BJ Habibie, dalam tayangan Mata Najwa beberapa waktu lalu turut membantu harapan ini agar terus berpacu. Habibie mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa sosok yang pantas menjadi next leader bagi Indonesia adalah ia yang berada pada fase usia rentang 40-60 tahun. Jutaan penduduk hanyut dalam lautan imajinasi masing-masing dengan sebuah tanya yang identik : “Siapakah sosok itu?”



Sebentar kemudian kita sadar bahwa negeri ini begitu krisis kaderisasi kepemimpinan muda. Para tokoh yang selama berpuluh tahun bergulung dalam gelombang politik Indonesia adalah generasi tua dalam periodisasi sejarah perpolitikan Indonesia yang telah terlibat dalam berbagai kasus penyimpangan, mulai dari korupsi, penyimpangan hukum hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia.



Mungkin mereka sudah terlalu lelah. Hingga belakangan pernyataan-pernyataan mereka yang ada di media sosial semakin tidak rasional saja. Mereka rakus menahkodai partai politiknya hanya semata berdasar kepentingan pribadi berlandas gengsi. Belum tibakah saatnya bangsa ini melupakan dendam masa lalu dan berdamai dengan sejarah? Pikiran kita yang selama beberapa detik terbawa oleh memori kolektif tersebut diam-diam memintal doa : Rabbana, Ya Tuhan kami, jangan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk tibanya seorang pemimpin bangsa, lahirnya kepemimpinan muda yang bercahaya kilau kemilau, cerah membawa terang bagi sebuah perubahan.



Jokowi, representasi kepemimpinan muda yang tidak terlibat dalam cerita kelam sejarah bangsa datang dengan upaya mereaktualisasi semangat Bapak Bangsa, Sukarno. Proposal “Revolusi Mental” yang ditulisnya mengajak bangsa ini melakukan tindakan korektif terhadap iklim geopolitik Indonesia, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan danmenciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.



Lewat revolusi mental, Jokowi bermimpi untuk menghidupkan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.Berbeda dengan revolusi fisik, revolusi mental tidak memerlukan pertumpahan darah.

Kita, tentu patut berbahagia menyambut pemimpin yang masih menempatkan mental sebagai objek revolusi utama. Mental –yang dapat diasosiasikan dengan sifat-sifat intelektual- adalah sisi penting yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Merevolusi mental berarti sebuah usaha untuk merawat anugerahNya yang paling utama. Pemimpin yang mengajak rakyat untuk merevolusi mental bersama-sama adalah pemimpin yang tidak takut jika bangsanya menjadi bangsa yang kritis terhadap Pemerintahan. Inilah pemimpin sejati yang berkeinginan membangun lapis kekuatan sistem demokrasi baru yang ingin melibatkan peran seluruh rakyat. Usaha ini memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi— memerlukan pengorbanan masyarakat



Semua yang terus menyalakan harapan pasti bersepakat bahwa pemimpin yang baik tidak perlu ditunda kelahirannya. Rakyatlah yang melahirkannya sebab rasa percaya. Pun ketika sang pemimpin tidak cukup percaya diri, semua rakyat pasti dengan sukarela berdiri dibelakangnya.



Ah, barangkali yang saya sampaikan diatas akan dianggap sebagai hal yang tak penting dan mengada-ada. Yang terlanjur menutup mata tetap akan berkata,”Ini Indonesia, Bung! Bukan hanya Solo dan Jakarta!”. Lagipula, rekam jejak prestasi di negeri ini sepertinya tidak terlalu penting dibandingkan mitos-mitos politik yang semakin dibuat menyeramkan dengan bumbu agama, isu sosial budaya, klenik dan juga mitos koalisi yang seringkali berakhir sebagai hipokrisi. Saya sadar itu sepenuhnya. Maka dari itu ijinkan saya terus berusaha untuk memelihara akal sehat saya sendiri lewat esai ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun