Mohon tunggu...
Kalis Mardi Asih
Kalis Mardi Asih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Guru Bahasa Inggris yang Hobi Membaca Novel-novel Chicklit

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Relawan dan Umat Islam

3 Juli 2014   20:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:37 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta demokrasi untuk memilih wajah baru Presiden dan Wakil Presiden masa jabatan 2014-2019 makin dekat. Seiring dengan itu, situasi semakin memanas. Kedua kubu pemenangan baik dari Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK sama-sama massif dalam melaksanakan strategi. Apapun dilakukan, asal dapat merebut simpati rakyat dan berujung pada pemenangan suara. Alih-alih merebut simpati rakyat, rakyat justru dibuat bingung pada berbagai kampanye hitam yang bertebaran lewat media massa, media elektronik maupun media sosial.

Kamis, 3/7/2014 Puluhan massa PDIP Yogyakarta dikabarkan mendatangi kantor TV One Biro Yogyakarta. Mereka tidak terima atas tuduhan dan penghinaan yang dilayangkan kepada PDIP dan Ketua Umumnya, Megawati Soekarno Putri sebagai antek komunis. Massa mencoret-coret tembok rumah dan menyegel pintu dengan memasang palang kayu. Tembok rumah dicoret dengan cat semprot warna merah dengan tulisannya “PDIP bukan PKI” dan lain-lain. Peristiwa anarkhis ini cukup mencederai hati relawan dan simpatisan Jokowi-JK yang beberapa bulan ini telah menggalang aksi-aksi kampanye damai, mulai dari gerak jalan revolusi mental, rekening donasi Jokowi-JK, hingga berbagai acara seni dan karya kreatif yang dengan sukarela diadakan oleh berbagai pihak baik secara personal maupun komunitas.

Namun, ada yang menarik dari peristiwa yang semakin menarik untuk dimainkan menjelang tanggal 9 Juli nanti. Dari peristiwa ini, kita semakin paham bahwa Jokowi sama sekali bukan “petugas partai” seperti yang selama ini rajin digembar-gemborkan media. Dugaan ini didasari dari sejumlah peristiwa dan fitnah yang telah lebih dahulu menyudutkan Jokowi. Jokowi difitnah dengan sejumlah tuduhan SARA, antara lain keturunan China, bukan islam, antek asing dan lain-lain. Jokowi pun dituduh PKI dalam seminggu belakangan ini. Tapi fitnah yang dituduhkan kepada Jokowi secara personal, harus dihadapi oleh Jokowi sendirian. Fitnah serius yang datang dari tabloid Obor Rakyat yang telah tersebar di berbagai pesantren di Indonesia dengan dugaan didanai oleh kubu Hatta Rajasa pun tidak membuat PDIP meradang.

Di sosial media, relawan dan simpatisan Jokowi sibuk mengklarifikasi dan memverikasi berbagai temuan berita. Jokowi didukung oleh para relawan tapi tidak sepenuhnya didukung oleh Partai. Mesin partai tidak bekerja sama sekali. Tidak ada konferensi pers atau wakil partai yang secara tegas tampil di media untuk memberikan hak jawab atas fitnah-fitnah yang diajukan kepada Jokowi. Dalam berbagai acara talkshow di Televisi, tokoh-tokoh dari Partai lain seperti Khofifah Indar Parawansa dan Nusron Wahid lebih sering muncul dengan berbagai argumen bernas dan logis. Apa yang terjadi dengan PDIP?

Kita patut mengingat sosok Tri Rismaharini, walikota Surabaya yang belakangan menjadi sangat fenomenal setelah menyajikan berbagai fakta dalam tayangan Mata Najwa beberapa bulan yang lalu. Pada tahun 2010 lalu, Risma adalah calon walikota boneka dari kubu PDIP. Saat itu, Jawa Timur sedang krisis kader bersih. PDIP buruk namanya karena berbagai kasus korupsi. Risma dicalonkan, bukan mencalonkan diri. Bahkan ia sempat menolak pencalonan itu. Toh, public menghendaki figure Risma sebagai walikota yang paling layak.

Tahun berlalu, Risma justru menjadi wanita bertangan dingin yang membelot pada kekuasaan partai. Kasus Dolly menjadi puncak pertaruhan antara kuasa partai (dan anggota dewan) dengan idealisme memperjuangkan kebaikan. Risma bergerak sendiri, mempertahankan apa yang nurani yakini bersama dukungan dari rakyat. Ia dimusihi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya tapi dicintai oleh semua rakyat Surabaya dan juga Indonesia.

Melihat posisi Jokowi sekarang, saya melihat situasi yang sama. PDIP nampaknya mengalami kekagetan yang luar biasa ketika muncul kader-kader “tidak biasa” seperti Jokowi dan Tri Rismaharini. PDIP terlalu lama diasuh oleh generasi trah Soekarno dengan berbagai kemiripan baik dari segi fisik, pemikiran maupun misi secara pribadi. Mereka tak siap dengan hadirnya penyegaran dalam tubuh partai. Hal ini patut dievaluasi, terutama menjelang 9 Juli mendatang. Mesin partai harus segera ambil bagian dengan lebih serius. Relawan dan simpatisan Jokowi saja tidak cukup.

Di era reformasi ini, menuduh orang sebagai PKI maupun memberikan klarifikasi bahwa bukan PKI sebenarnya tak perlu. Dua-duanya sama-sama cara berpikir orde baru. Namun bagaimanapun, doktrin orde baru telah begitu mengakar dalam pikiran bangsa Indonesia. Orde baru membuat segala hal buruk dapat disangkut pautkan PKI, kecuali kejahatan korupsi yang dapat ditutupi dengan dalih kesejahteraan rakyat. Visi misi tentang kesejahteraan rakyat dan Sumber Daya Alam membawa ingatan kita pada perilaku licik khas feodalisme Orde Baru. Sementara, mempertajam isu ke-PKI-an seseorang adalah cara yang sangat jahat namun efektif untuk mendulang suara.

Sementara PKI menjadi isu yang sangat seksi untuk dimainkan pada umat islam karena sejarah pertentangan Soekarno beserta PKI dengan Masjumi dan umat islam, umat islam nampak makin limbung. Tahun politik ini, partai islam beramai-ramai mendekat pada koalisi gemuk Prabowo-Hatta. Kecuali PKB, partai islam yang lain juga sibuk menginternalisasi pikiran masyarakat bahwa seakan sudah seharusnya masyarakat yang beragama islam merapat ke kubu Prabowo Hatta sebab dalam koalisi ini terdapat PAN, PKS, PBB, dan PPP yang mewakili umat islam manhaj apapun.

Sementara isu PKI terus digoreng untuk menguatkan koalisi islami, umat islam pelan-pelan dibuat lupa dengan dosa terbesar Soeharto. Islamophobia, justru ditanamkan oleh Soeharto sejak tahun 1965. Pernyataan Cak Nur bahwa “Islam Yes, Partai Islam No!” dimanfaatkan Soeharto untuk memperkuat kekuasannya. Tokoh islam intelektual akademis ramai-ramai diberangkatkan untuk sekolah ke Amerika. Mereka, tokoh-tokoh itu, kemudian pulang dengan membawa berbagai paham liberal yang diujicobakan pada bangsa ini pada berbagai sektor, terutama sektor ekonomi, pendididikan dan sosial budaya. Eksperimen kultural warisan orde baru bergerak dalam cara dan strategi yang sangat halus, sementara umat islam menikmatinya. Sekali waktu, umat islam kemudian berperang dengan sesamanya ketika disajikan badai isu tertentu yang telah dirancang dengan sangat apik. Yang paling kentara tentu saja seputar toleransi dan pluralisme.

Islamophobia itu nampak sekali pada decade 80-an hingga 90-an. Maka debat mengapa muslimah jaman dahulu fotonya tidak memakai jilbab yang menjadi pembenaran bahwa berjilbab tidak wajib sebenarnya menjadi kegiatan yang bodoh. Pada zaman itu, berjilbab adalah isu sensitif. Saya ingat akan masa kecil dimana kita dilarang foto memakai jilbab untuk buku raport. Ingatan setiap hari ketika berangkat ke pesantren dengan berjilbab dituduh dengan berbagai seruan negatif seperti membawa racun, berjilbab adalah bodoh dan tidak intelek, dan lain sebagainya yang tidak dapat saya lupakan hingga hari ini.

Jokowi adalah sosok yang tidak punya hutang apapun pada Indonesia. Seperti Tri Rismaharini, ia serupa bayi bersih yang lahir dari rakyat dan siap menjadi pemimpin dengan menjadi pendengar yang baik bagi banyak keluhan rakyat. Saya tidak menjamin bahwa Jokowi akan sekuat Risma, yang tidak akan tunduk pada kuasa partai. Siapapun yang terpilih sejak 9 Juli nanti, rakyat tetap harus mengambil posisi sebagai oposisi konstruktif yang tidak menjadikan siapapun layaknya Nabi yang tanpa cela. Dan kepada partai manapun, semoga dapat kembali ke khittahnya, mengingat visi dan misinya, yakni bergerak atas nama rakyat dan untuk membela kepentingan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun