[caption id="attachment_241847" align="aligncenter" width="513" caption="ilustrasi air sungai ciujung yang menghitam karena tercemar"][/caption] Laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin terus meningkatbahkan tidak menunjukkan gejala penurunan.
Rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hayati.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut diantaranya faktor demografis, etika, social, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan politik.
Kebijakan, rencana dan program pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah diluncurkan pemerintah sejak empat dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategic yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diluncurkan pemerintah (KLH di Pusat, atau Bapedalda provinsi/kabupaten/kota) cenderung “terlepas” atau “terpisah” dari KRP pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu atau tidak terintegrasi.
Implementasi berbagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, terutama AMDAL, menunjukkan bahwa meskipun AMDAL sebagai salah satu instrumen pengelolaan lingkungan cukup efektif dalam memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan alam rancang-bangun proyek-proyek individual, tapi secara konsep pembangunan menyeluruh, instrumen AMDAL belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinergistik.
Apa yang terjadi di Serang Banten terkait pencemaran sungai Ciujung yang dilakukan oleh PT. Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) adalah bukti mandulnya implementasi instrumen pengelolaan lingkungan hidup.
Perusahan yang sudah jelas-jelas melakukan pembuangan limbah yang menyebabkan tercemarnya sungai Ciujung tidak ditindak dengan tegas tetapi malah justru diarahkan agar memperbaiki kesalahannya.
Terlihat jelas dari Rekomendasi yang dikeluarkan KLH RI yang salah satunya berbunyi IKPP harus memperkecil kapasitas produksi disaat musim kemarau. Selain itu, IKPP harus membangun kolam limbah saat musim kemarau atau saat darurat, dan harus mengoptimalkan kinerja instalasi pengolahan air limbah (IPAL) agar memenuhi baku mutu.
Rekomendasi KLH RI jelas-jelas melindungi pengusaha yang telah melakukan kesalahan/perbuatan yang patut diduga disengaja membuang limbah ke sungai Ciujung yang mengakibatkan tercemarnya sungai.
Bahkan adanya upaya mengklasifikasikan sungai Ciujung masuk dalam klasifikasi kelas 4 padahal sejak sebelum beroprasinya perusahaan (PT. IKPP) sungai Ciujung dijadikan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga.
Apalagi jika dikaitkan dengan Program Kali Bersih (PROKASIH) yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/VII/1995 tentang Program Kali Bersih yang disahkan pada tanggal 25 Juli 1995.
Program pengendalian pencemaran air merupakan tools atau alat atau instrumen yang dikembangkan untuk mengintegrasikan setiap kegiatan menjadi satu kesatuan instrumen yang digunakan untuk mempercepat proses penaatan, penurunan beban pencemaran air, dan/atau mutu air sasaran yang telah ditetapkan.
Hingga kini masyarakat sekitar sungai Ciujung tidak mengetahui sejauh mana proses penanganan sungai agar tidak terus dicemari limbah dari perusahaan yang berasal dari PT. Indah Kiat Pulp & Paper tersebut. Masyarakat berharap agar sungai Ciujung kembali normal seperti sedia kala agar warga sekitar dapat memanfaatkan air sungai untuk keperluan rumah tangga dan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H