Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu, pilihan, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang tampaknya tidak memiliki petunjuk atau arah yang jelas. Beberapa tokoh besar dalam eksistensialisme, seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Sren Kierkegaard, berfokus pada pengalaman manusia yang merasa terasing dan terjebak dalam dunia yang tampak absurd.
      Sebagai filsafat yang menentukan eksistensi manusia sebagai tema sentral, eksistensialisme tumbuh sebagai suatu ragam filsafat antropologi, yang sangat berkembang terutama setelah selesainya Perang Dunia II. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa filsafat eksistensialisme itu baru menjelma setelah Perang Dunia II sebagai Kierkegaard, sebagai peletak dasar-dasarnya, misalnya, menulis segala karyanya bahkan sebelum Perang Dunia I, sedangkan sebagian karya Heidegger, Jaspers, dan Sartre pun telah ditulis sebelum Perang Dunia II. Bahkan terdapat alasan yang menunjukkan bahwa dasar-dasar eksistensialisme itu juga ditemukan pada tokoh-tokoh pengarang seperti Dostoyevski atau juga pada filsuf Nietzsche, padahal keduanya pun tidak sampai mengalami Perang Dunia I.
      Eksistensialisme merupakan satu bentuk filsafat yang berusaha keras untuk menganalisis struktur-struktur dasar dari eksistensi manusia serta untuk mengundang setiap orang pada kesadaran akan eksistensi mereka dalam kebebasan yang hakiki. Para filsuf eksistensialis memiliki concem atau minat yang sama, yaitu problem tentang kehidupan konkret sebagai manusia (human being). Kata "human" yang mengacu kepada manusia menunjuk kepada keseluruhan situasi dan kondisi yang istimewa dan eksklusif, "dimiliki" hanya oleh manusia dan keseluruhan totalitas kemanusiaan. Manusia adalah eksistensi. Kata eksistensi itu sendiri sudah menunjuk kepada cara berada manusia yang khas, yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk hidup lainnya.
      Eksistensialisme tidaklah sekedar menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus, karena setelah melalui berbagai perkembangan, istilah ini telah meresapi banyak bidang di luar filsafat, seperti psikologi, seni, sastra, drama, dan sebagainya. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa diklasifikasikan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipun demikian terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis, antara lain misalnya. Pertama, eksistensialis merupakan suatu tantangan yang kuat terhadap filsafat tradisional dengan segala bentuknya, sebab filsafat tradisional mengarahkan perhatiannya pada wujud dan pengenalannya kepada sebab-sebab yang jauh bagi wujud tersebut serta dasar-dasar prinsip pertama, kedua, eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep 'akal' dan 'alam' yang ditekankan pada periode pencerahan abad ke 18. "Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan sesuatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, semua itu adalah pokok dari eksistensialisme". Ketiga, Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan massa pada zaman sekarang. Dan keempat, eksistensialisme juga merupakan suatu protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, dan lain-lain yang cenderung menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
      Kaum eksistensial berusaha menemukan kebebasan dengan menunjukkan suatu fakta, betapa benda-benda (obyek) tidak mempunyai makna tanpa keterlibatan pengalaman manusia. Manusia merupakan suatu titik sentrum dari segala relasi, sebagai subyek dengan pengalamannya. Justru dengan kesadaran 'keberadaannya', eksistensi manusia diakui, yang oleh Sartre, cara berada manusia melalui dua cara yaitu l'etre-en-soi (berada pada dirinya ) dan l'etrepour-soi (berada untuk dirinya). Makna dari Kebebasan Manusia, Sartre mengatakan "aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas". Melihat pernyataan di atas bahwa kebebasan menjadi tema sangat penting dalam bangunan filsafat Sartre.
      Menurut yang saya baca dalam buku Being and Nothingness, Sartre banyak menganalisis kebebasan dan cara berada manusia untuk menemukan kebebasan. Menurut Sartre ada dua "'etre" (berada) yaitu l'etre-ensoi (berada pada dirinya ) dan l'etre-pour-soi (berada untuk dirinya). Dalam bahasa Inggris en-soi dapat diterjemahkan thingness sementara pour-soi yaitu no-thingness.
      Maksud l'etre-en-soi atau 'berada pada dirinya' adalah semacam berada an sich. Ada banyak yang berada, pohon, binatang, manusia, benda-benda, dan sebagainya, semuanya itu berbeda-beda "berada" mewujudkan ciri segala benda jasmani. Semua benda ada dalam dirinya-sendiri, tidak ada alasan mengapa benda-benda berada begitu. Segala yang berada dalam diri ini tidak aktif, akan tetapi juga tidak pasif, tidak mengiakan dan tidak menyangkal. 'Etre-en-soi mentaati prinsip identitas, jika di dalam sesuatu yang ada itu terdapat perkembangan, maka perkembangan itu terjadi karena sebab-sebab yang telah ditentukan. Oleh karenanya perubahan-perubahan itu adalah perubahan yang kaku. Menurut Sartre segala yang "berada dalam dirinya" (l'etre-en-soi) memuakkan, yang ada begitu saja, tanpa kesadaran, tanpa makna. Adanya pour-soi membuat manusia begitu istimewa, karena seakan-akan meninggalkan suatu 'lubang' dalam dunia benda, dunia objek-objek. Lubang tersebut merupakan kebebasan manusia. Hal inilah yang dapat melepaskan diri dari adanya en-soi. Sementara yang dimaksud dengan l'etre-pour-soi (berada untuk dirinya) yaitu berada dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. l'etre-pour-soi tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya 'etre-en-soi. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta, berbeda dengan benda-benda. Sebab benda hanyalah benda, tetapi tidak demikian dengan manusia, karena manusia memiliki kesadaran, yaitu kesadaran yang reflektif dan kesadaran yang pra reflektif.
      Manusia itu merupakan eksistensi yang bebas mengadakan penyangkalan (neantisation) terus menerus terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sesuatu di luar dirinya setiap saat, karena kemampuannya untuk sadar akan setiap perbedaan atau ketidaksamaan. Si A yang baik, yang saya kenal sekarang, saya sadari tidak sama dengan si A yang jahat 5 tahun yang lalu, karena di dalam diri saya terdapat kesadaran yang melihat kemungkinan-kemungkinan ketidaksamaan tersebut, dan saya memiliki kemauan bebas untuk menyatakan perbedaan tersebut. Pada penyangkalan (neantisation) inilah terletak kebebasan manusia. Mengapa? Karena pada saat manusia mengadakan ketidaksamaan atara si A dan si B misalnya, ketidaksamaan itu dilakukan oleh kesadarannya yang bebas mempertanyakan ketidaksamaan tersebut. Kesadaran bagaikan kupu-kupu yang bebas terbang mengadakan peniadaan. Si A yang baik di masa kini, akan menidakkan dirinya di masa kini, dengan menyadari bahwa ia belumlah mencapai si A yang dikenal wataknya di masa yang akan datang. Penyangkalan berlangsung secara bebas sepanjang eksistensi memakai kesadarannya sebagai Etre pour-soi.
..........ia meniadakan masa lampaunya dan berusaha mencapai sesuatu yang "belum ada" atau yang pada waktu itu "tidak ada." Di dalam perbuatan ini manusia senantiasa memilih, membuat pilihan yang dilakukan dalam kebebasan. Jadi "berada-untuk-diri" (l'etre pour- soi) sama dengan kebebasan. Hakikat manusia adalah kebebasan. Padahal kebebasan adalah hal yang tidak ditentukan. Kebebasan manusia terletak disini. Batu tetap batu, tidak dapat berubah menjadi besi. Tidaklah demikian dengan manusia. Karena kesadaran manusia berbuat... yang berarti bahwa ia selalu meniadakan diri. Ia dapat berbuat demikian padat karena ia tidak terikat, tidak "telah," ditentukan, "tidak padat melainkan ia bebas, merdeka, oleh karenanya selalu bergerak, dengan meniadakan yang sudah ada dan menuju ke yang belum atau yang tidak ada. Masa lampau yang ditinggalkan oleh Etre pour soi dianggap tiada oleh kesadaran karena ia bukan lagi yang ada pada masa lampau itu sementara ia belum lagi menjadi masa yang akan datang.
      Dari kutipan di atas terlihat bahwa, menurut Sartre, kebebasan merupakan hakikat manusia. Namun, apakah kebebasan yang sangat individual yang mengatakan intersubjektivitas atau hubungan sosial sebagai sesuatu yang gagal karena hubungan subjek- objek dalam kesadaran manusia dan bukan hubungan subjek-subjek.