Saya ingat pepatah di atas, saat belajar bahasa Inggris di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). To see is to believe, atau seeing is believing: melihat (itu) untuk percaya. Sekian puluh tahun kemudian, kata-kata itu sangat membantu dalam pekerjaan kami.
Dini hari, Minggu 4 Desember 2022, saya sedang tidur nyenyak di salah satu kamar mess Pos Pengamatan Gunung Api Semeru di Gunung Sawur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Menjelang pukul tiga pagi dibangunkan oleh suara ketukan pintu tergesa-gesa dari seorang Pengamat Gunung Api. Bukan untuk memberitahu hasil pertandingan antara Argentina melawan Australia di piala dunia pagi itu, melainkan mengabari terjadinya Awan Panas Guguran (APG) Semeru.
“Pak, Pak, APG Pak!” diantara ketukan pintu kamar. Saya terbangun, membuka pintu, dan tanpa menunda waktu, menuju Ruang Monitoring yang belum genap dua jam saya tinggalkan, bergabung dengan teman-teman Tim Tanggap Darurat yang sudah standby di Ruang Monitoring, untuk menghadapi dahsyatnya APG Semeru.
Kemunculan Awan Panas Semeru sudah diprediksi Badan Geologi melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) jauh-jauh hari, walau kapan tepatnya awan panas bakal terjadi, dan seberapa besar, tak bisa ditentukan. Ya, sudah sejak sekitar dua bulan sebelumnya kami membahas dan mengantisipasi kemungkinan “ulang tahun” Awan Panas Semeru. Bahkan kunjungan Polsek Candipuro ke Pos Sawur satu malam sebelumnya sedianya mengonfirmasi hotspot dari citra satelit, berkembang menanyakan kemungkinan kejadian Awan Panas dengan istilah yang sama: “ulang tahun”. Padahal tak dikenal istilah ulang tahun dalam kebencanaan.
Namun sekarang, di pagi buta tepat setahun setelah Awan Panas 4 Desember 2021, menyadari bahwa memang kejadian yang sama mungkin berulang, kami bersiap. Seperti ilustrasi seorang senior kami: bila memang ini waktu untuk Semeru manggung, manusia harus tahu dan mau memberi ruang itu pada Semeru hingga berhenti dengan sendirinya.
Kami memantau menit demi menit, menyaksikan APG dari kilometer ke kilometer menuruni lereng. Adzan subuh belum juga terdengar, kami sudah berusaha menghubungi berbagai pihak, memperingatkan aparat terkait untuk bersiaga bahkan mengevakuasi warga yang mungkin terancam. Kami tidak bisa tahu kapan APG ini akan berakhir, dan seberapa jauh jarak luncuran akan terjadi.
Alhamdulillah, kami melihat beberapa keunggulan yang bisa digunakan pagi itu. Pertama, Badan Geologi sudah jauh-jauh hari menugaskan tim Tanggap Darurat di Pos Pengamatan Gunung Api Sawur. Pagi itu full team bersiaga dan berbagi tugas: (1) memantau perkembangan APG berdasar data dari berbagai instrumen dan (2) berkoordinasi dengan aparat setempat.
Kedua, saat itu dini hari menjelang pagi dan cuaca cerah. Warga sedang beristirahat, tapi paling tidak posisinya terkonsentrasi di rumah-rumah, lebih mudah untuk dijangkau informasi tanggap darurat, bukan dalam posisi menyebar di sawah, kebun, ladang, atau sungai seperti bila terjadi di siang hari. Cerahnya cuaca membuat kami relatif dapat melihat APG itu menuruni lereng Semeru dari Ruang Monitoring. Ya, melihatnya melahap dengan mudah arah tenggara.
Ketiga: kami memiliki dua CCTV baru (Closed Circuit Television) yang dipasang di lokasi bernama Kamar A dan Kali Lanang (Besuk Lengkong), tepat mengapit jalur APG akan lewat. CCTV ini dipasang oleh beberapa tim sebelum kami, persiapan menghadapi banjir lahar atau APG seperti ini. Memang tidak ada yg menakjubkan soal CCTV ini, tapi dengannya kami dapat memperkirakan jarak luncuran APG saat nanti terlihat di CCTV Kamar A dan di Kali Lanang. Dengan demikian, kami punya keunggulan pemantauan visual dan satu sisi lain yang sering kali terlupakan: keunggulan komunikasi. Di sini seeing is believing memberi clue.
Komunikasi di saat bencana, kadang menjadi hal terlupakan untuk disiapkan, padahal itu adalah mata rantai penting ketika pihak yang berwenang perlu menggerakkan orang seperti melakukan mobilisasi dan evakuasi. Di tengah kejadian bencana, hal yang paling tidak diinginkan adalah manajemen (penanggulangan bencana) yang meningkatkan risiko bencana, dan faktor utamanya bisa berupa rantai komunikasi yang buruk. Risk communication, atau komunikasi risiko bencana, terutama saat potensi (bencana) itu dekat dan nyata, menjadi kunci keberhasilan mitigasi. Dengan CCTV itu, kami memiliki keunggulan untuk melakukan risk communication yang lebih baik, dan inilah saat membuktikannya.
Pagi hari, APG belum juga mereda. Saat itulah Wakil Bupati (Wabup) dan Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang beserta rombongan bergabung di Pos Pengamatan Gunung Api Semeru di Sawur. Setelah membahas perkembangan APG dan menjelaskan peralatan, kami mengajak Wabup, Kalak BPBD, dan rombongan memantau via CCTV.