Mohon tunggu...
Mardhatillah Bustamam
Mardhatillah Bustamam Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Magister Pascasarjana UNIMED

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru sebagai Agent of Change (Pelaku Perubahan)

18 November 2013   13:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:00 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kurikulum 2013 menekankan agar terciptanya pelajar dengan tingkatan berfkir “the high level of thinking” atau tingkatan berfikir tingkat tinggi. Pelajar di tuntut belajar dari sejumlah masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dan langsung terjun sebagai problem solver (pemecah masalah) dari sejumlah masalah yang terjadi melalui pembelajaran. Siswa dikuatkan  dalam bidang sikap dan psikomotor. Disini, pengetahuan harus berdampingan sekaligus dengan skill (keterampilan) tujuan akhir dari kurikulum 2013 melahirkan anak bangsa yang produktif, kreatif serta berkarakter. Sejauh ini kebanyakan sekolah kita masih mengajarkan siswa hanya sebatas C1 dan C2.

Guru sebagai Agent of Change (pelaku perubahan) diharapkan mampu membelajarkan sikap (karakter) bukan mengajarkan sikap. Perlu digaris bawahi membelajarkan sikap bukan mengajarkan sikap. Karena sikap bukanlah sebuah hafalan yang bisa diukur dari sejauh mana siswa bisa lancar mengungkapkannya . akan tetapi sikap merupakan sesuatu yang harus tertanam kuat di dalam pribadi seseorang sehingga terlihat dalam setiap perbuatannya.

Budaya mengajar ala verbalistik guru Negeri ini di harapkan bisa di minimalisir. Mengajar ala verbalistik disini, mengajarkan pembelajaran hanyalah sebatas hafalan, semua serba menggunakan kata “adalah”. Kebaikan ADALAH, menghormati orang tua ADALAH, atau jangan-jangan guru Matematika mengajarkan matematika; Matematika ADALAH. Akhirnya  yang terjadi adalah sekolah-sekolah kita banyak menghasilkan generasi “adalah” yang lancar sebatas hafalan pengertiannya saja sedangkan apa yang dihafal hampir sedikitpun tidak dipahami, padahal tingkatan belajar paling rendah adalah menghafal. Dan ini tidak hanya terjadi di sekolah, bahkan Perguruan Tinggi kita pun tidak sedikit yang mewisuda para sarjana-sarjana “adalah”. Serta Pasca sarjanapun turut serta melahirkan para magister “adalah”. Naudzubillah... begitulah produk pendidikan Negeri ini.

Pertanyaannya, siapakah yang bisa mengubah ini semua? Sia-sia jika petinggi-petinggi pendidikan negeri ini terus berupaya untuk melakukan inovasi-inovasi di ranah pendidikan kita. Baik dari perbaikan kurikulum, sertifikasi guru, PLPG dan sebagainya sementara para guru tidak mau keluar dari cangkang lamanya. Hasilnya adalah NOL besar.

Besar harapan negeri ini kepada para guru, agar terciptanya generasi-generasi pelindung dan penjaga tanah air yang berakhlakul karimah. Sesuai dengan peran guru yang disampaikan oleh bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan teladan) Ing madya mbangun karsa (di tengah membangun tujuan dan cita-cita anak didik) dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Serta makna guru “digugu dan ditiru” bisa benar-benar memberikan teladan kepada anak didik.

Semoga bermanfaat untuk penulis sendiri yang berprofesi sebagai guru dan sahabat-sahabat guru yang sedang berjuang membangun dan mencerdaskan anak bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun