Sejarah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan sebuah bangsa, karena peristiwa sejarah masa lampau akan menjadi pedoman untuk masa sekarang ataupun dimasa mendatang. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam salah satu pidatonya berpesan pada seluruh rakyat Indonesia agar “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya “.
Berbagai fenomena menunjukan bahwa di era milenial ini, kecintaan generasi muda terhadap sejarah dan perjuangan pahlawan mulai memudar. Salah satu fenomena yang gampang dibaca, yaitu kurangnya pengetahuan generasi melenial tentang jasa-jasa para pahlawan. Dampak dari hal ini merosot rasa nasionalisme dan patriotisme dan pada saatnya berakibat terhadap kemerosotan moral bangsa. Muncul kenakalan remaja seperti tawuran, seks bebas, penyalah gunaan narkoba, geng motor lainnya.
Mengenang jasa-jasa pahlawan akan memperkokoh sikap nasionalisme dan patriotisme bagi generasi yang tumbuh di zaman ini. Mereka perlu diajak untuk menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, generasi muda perlu memahami jasa jasa pahlawan.
Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, tulisan ini akan mengangkat sejarah dan riwayat hidup Wage Rudolf Supratman. Hingga kini, masih ada perdebatan tentang sejarah hidupnya, seperti tanggal dan tempat dia dilahirkan. Agama yang dianutnya, Islam atau Katolik. Hanya satu hal yang diakui, Wage Rudolf Soepratman adalah pencipta lagu kebangsaan Republik Indonesia “ Indonesia Raya”. Karenanya, Wage Rudolf Soepratman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Lagu “ Indonesia Raya “ ciptaan Wage Rudolf Supratman, menjadi lagu kebangsaan Indonesia yang ditetapkan dalam UUD 1945, Bab XV Pasal 36 B. Lagu kebangsaan ini dinyanyikan pada acara-acara resmi negara,upacara bendera dan lainnya. Generasi milenial banyak yang tidak tahu Wage Rudolf Supratman, pahlawan nasional dan pencipta lagu kebangsaan Republik Indonesia.
Sekilas riwayat hidup Rudolf Supratman
Wage Rudolf lahir tahun 1903 dan meninggal tahun 1938, dimakamkan di jalan Kenjeran Surabaya. Dalam usia yang teramat muda, 35 tahun, dia telah meninggalkan jejak -jejak perjuangan untuk Indonesia merdeka. Untuk mengenang jasa beliau dibangun museum Wage Rudolf Supratman, di kota Surabaya. Musium itu berbentuk rumah sederhana, berukuran 5x 10 meter dengan halaman yang sempit dan patung Wage Rudolf Supratman seukuran manusia di halaman tersebut. Di museum itu di simpan beberapa benda – benda peninggalan Supratman, termasuk replika biolanya.
Ayah Supratman bernama Joemeno Kartodikromo (sersan di Batalyon VIII KNIL) dan ibunya bernama Siti Senen. Wage Rudolf Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Pada umur 11 tahun Soepratman ikut kakaknya Roekijem ke Makassar dan belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun. Kemudian Soepratman melanjutkan ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, dia menjadi guru dan mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Nama Rudolf di depan nama Soepratman adalah pemberian kakak iparnya atau suami kakaknya Roekijem, Willem van Eldik. Nama Roedolf ini dipasangkan agar dia bisa bersekolah di Europese Lagere School (ELS) yang cuma menerima orang Eropa dan Belanda. Sayangnya, trik tersebut tak bertahan lama karena Soepratman akhirnya ketahuan dan dikeluarkan dari ELS lalu pindah ke Sekolah Melayu.
Nama Rudolf yang dipasangkan di depan nama Soepratman merupakan nama Baptis, sehingga Soepratman dipandang sebagai penganut Katolik. “Tidak semua orang tahu bahwa pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf (W. R) Soepratman merupakan seorang penganut agama Katolik. Hal ini tertulis dengan sangat jelas dalam buku Sejarah Nasional Edisi Pertama yang ditulis oleh M. Sapija yang didukung oleh data Keuskupan Agung Jakarta “. (ikatolik.net ).
Tapi di berbagai teks menyebutkan bahwa Wage Rudolf Soepratman seorang Muslim. Nama Rudolf adalah nama yang ditambahkan kakak iparnya di Makassar agar ia dapat diterima di sekolah Belanda. Lama persoalan ini tak dimunculkan, tak ada yang mempersoalkan agama Wage Rudolf Soepratman, tapi dengan berkembangnya permainan politik aliran saat, ini hal tersebut mulai diungkit- ungkit.
Dari Makasar, Soepratman pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian “Kaoem Moeda” dan “Kaoem Kita”. Kemudian dari Bandung pindah ke Jakarta dan Soepratman tetap menjadi wartawan di Jakarta. Ketika menjadi wartawan, dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dan mulai tertarik pada pergerakan nasional dan mulai mengeritik penjajahan. Kritiknya terhadap penjajahan Belanda dituangkannya dalam buku “Perawan Desa “. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.