Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dalam "Bumi Manusia"

14 September 2019   13:23 Diperbarui: 14 September 2019   13:43 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bumi Manusia" sebuah filem Indonesia layar lebar,  diluncurkan 15 Agustus 2019. Filem ini berasal  dari buku "Bumi Manusia"  ( 1980) terbitan Hasta Mitra. Penulisnya Pramoedya Ananata Toer. Penulis asal Blora, Jawa Tengah ini menulis karyanya di Pulau Buru, Maluku dalam  menjalani hukuman  pembuangan tanpa pengadilan. Penulis menjadikan hukuman pembuangan dari Agustus 1969 hingga November 1979, sebagai momentum untuk terus berkarya. "Bumi Manusia ", sebuah Novel Sejarah, berlatar zaman pra kemerdekaan Indonesia yang memuat  semangat anti-feodalisme dan anti-imperialisme salah satu dari empat  karyanya di tanah pembuangan.

Membaca ulang buku di atas dan fokus pada hal yang menyangkut perempuan, terbaca bagaimana  derita perempuan dalam penindasan budaya patriarki.  Agaknya dapat kita katakan bahwa sejarah perempuan adalah sejarah penindasan. Dengan fokus pada tokoh-tokoh  perempuan dalam buku itu kita mendapat informasi bahwa perempuan  pribumi Indonesia  punya andil dalam membangun semangat anti penjajah jauh sebelum munculnya kesadaran bangsa.  Mari kita angkat  hal-hal yang  menyangkut perempuan  yang termuat dalam buku ini, khususnya masalah penindasan dan kejahatan seksual terhadap perempuan.  

"Bumi Manusia" merupakan kisah percintaan dua anak muda Minke dan Annelies di atas pentas pergelutan tanah kolonial awal abad 20. Minke pemuda pribumi, satu-satunya pribumi dizaman itu yang diperbolehkan masuk sekolah Belanda, HBS. Akses ini diperoleh Minke karena dia pintar menulis. Dia penulis bagi surat Kabar Belanda yang terbit masa itu. Pemikirannya  yang revolusioner, menyadarkan rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan mendapat perhatian masyarakat.  

Sementara Annelies, gadis Indo Belanda anak seorang Nyai. Nyai atau gundik adalah isteri simpanan seorang laki-laki.  Posisi Nyai atau gundik pada masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan. Nyai Ontosoroh  ibu yang melahirkan Annelis adalah isteri simpanan bule bernama Herman Mellema. 

Nyai Ontosoroh seorang perempan yang unik. Di satu sisi, ia dipandang rendah oleh bangsanya sendiri karena jadi gundik orang bule. Namun, Cara berpikir dan kepiawaiannya memimpin perusahaan, membuat perempuan ini  setara dengan perempuan terpelajar masa kini. Seperti Minke, Nyai juga berpikiran revolusioner dan menyadari bahwa bangsanya  dipandang rendah oleh penjajah. Hebatnya lagi, ia mengizinkan seorang pribumi menjalin cinta dan menikah dengan putrinya yang Indo. Hal ini pada  masa itu  tidak lazim.  

Sebagai isteri simpanan, pernikahan Sang Nyai dan Herman Mellema, secara hukum dianggap tidak ada. Ketika Mellema  meninggal dunia, pengadilan memutuskan, seluruh harta benda bahkan Annelies harus dikembalikan ke istri sah Tuan Mellema yang ada di Belanda. Nyai dan  Minke melawan kekejaman ini. Dukungan mengalir dari kaum pribumi dan bangsa Eropa yang masih punya hati. Segala argumen dikemukakan. Perlawanan  dilakukan lewat kata-kata dan  tulisan. Namun, mereka kalah. 

Sejarah Perempuan Sejarah Penindasan

Entah apa salah perempuan, sejak kecil sudah menjadi tahanan rumah dan diperlakukan secara tidak adil.  

 "Umur 13 tahun aku sudah  dipingit dan hanya tahu dapur,ruang belakang dan kamarku sendiri", cerita Nyai Ontosoroh pada anaknya Annalies. 

Lebih lanjut Nyai Ontosoroh  menceritakan   bagaimana dirinya  dijual oleh ayahnya sendiri, juru tulis Sastrotomo, sehingga dirinya menjadi seorang Nyai atau gundik atau isteri simpanan.  

"Sejak saat itu hilanglah sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku", kata Nyai Ontosoroh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun