Kasus dugaan rekayasa syarat permohonan guru besar yang melibatkan sebelas dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mencerminkan permasalahan serius dalam sistem pengangkatan akademisi di Indonesia. Aksi manipulasi yang terungkap ini bukan hanya menunjukkan tindakan individu, tetapi juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap proses dan karakteristik sistem yang memungkinkan pelanggaran tersebut terjadi. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa fenomena serupa mungkin terjadi di banyak perguruan tinggi lainnya di Indonesia, yang akhirnya dapat merusak integritas akademik secara keseluruhan.
Akar masalah dari skandal ini bersifat sistemik dan tidak hanya berkaitan dengan individu yang terlibat. Ambisi untuk memperoleh gelar guru besar demi meningkatkan peringkat institusi dan keuntungan finansial membuat banyak dosen mengabaikan etika akademik. Dengan makin banyaknya kasus dan pengakuan bahwa kebijakan yang ada membuka celah bagi pelanggaran, penting bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyusun kebijakan lebih ketat serta memperbaiki sistem agar kualitas pendidikan dan penelitian di Indonesia tetap terjaga.
Menurut Arief Anshory, anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), pelanggaran etika akademik yang terjadi di ULM merupakan indikator masalah sistemik dalam proses pencalonan guru besar di Indonesia. Ia meyakini bahwa banyak individu berusaha mengakali sistem demi mencapai jabatan ini, terutama dengan syarat publikasi ilmiah yang mudah sehingga memunculkan dugaan pelanggaran etika oleh para akademisi, politisi, dan pejabat publik. Hal ini makin diperparah dengan minimnya kualitas pengawasan dari asesor yang seharusnya menjamin integritas proses pengangkatan guru besar.
Lebih jauh, laporan dari Majalah TEMPO mengungkapan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pengajuan permohonan guru besar ini mengeluarkan uang yang cukup besar untuk memublikasikan artikel di jurnal predator. Ini menunjukkan bahwa praktik semacam ini bukan hanya tersentral pada kasus ULM, melainkan merupakan masalah yang lebih luas dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan adanya kesadaran dan kritik seperti ini, diharapkan ada perubahan signifikan dalam proses pengangkatan guru besar untuk menghindari manipulasi yang merusak reputasi dunia akademis.
Fenomena manipulasi dalam pengangkatan guru besar dapat diibaratkan seperti bangunan megah yang berdiri di atas fondasi rapuh. Di permukaan, bangunan tersebut mungkin tampak kokoh dan mengesankan, namun sedikit guncangan dapat meruntuhkannya. Begitu pula dengan dunia akademik, ketika integritas dan etika diabaikan demi mencapai prestise atau keuntungan pribadi, sistem pendidikan yang seharusnya mendidik generasi bangsa justru rentan runtuh dan kehilangan kepercayaan publik.
Skandal manipulasi syarat pengangkatan guru besar yang melibatkan sejumlah dosen di Universitas Lambung Mangkurat bukanlah sekadar insiden terisolasi. Kasus ini mencerminkan permasalahan sistemik dalam proses pengangkatan akademisi di Indonesia, yang jika tidak segera ditangani, akan merusak fondasi integritas dan kualitas pendidikan tinggi di negara ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H