Pemenuhan kebutuhan pokok dalam negeri menjadi alasan Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara larangan ekspor minyak sawit. Hal ini dianggap genting sebab ironi jika sebagai produsen, harga minyak goreng di Indonesia terbang tinggi menyentuh langit.
Sementara itu, saat pelarangan tersebut diberlakukan, harga CPO dunia sementara naik sehingga menjadi ladang bagi perusahaan-perusahaan sawit mencoba peruntungan. Dilema, bukan?
Lebih dilema lagi jika melihat saat ini minyak sawit bukan hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan semata, tapi juga untuk kebutuhan energi hijau sehingga pemanfaatan keduanya berpotensi menyebabkan masalah.
Permintaan Sawit untuk Industri Pangan
Ketika dunia dilanda pandemi, pembatasan besar-besaran dilakukan semua negara untuk mencegah penyebaran penularan virus.
Pembatasan ini juga diterapkan untuk usaha pertanian sehingga produk minyak nabati dunia menurun, termasuk Indonesia dengan sawitnya.
Sementara turunan sawit sangat diperlukan untuk bahan minyak goreng, coklat, bumbu  mi instant dan produk non-pangan seperti detergen, sabun mandi, sampo, dan bahan make-up.
Dari semua turunan sawit untuk pangan, minyak goreng masih menjadi andalan, apalagi bagi negara-negara yang memiliki kebiasaan untuk menggoreng makanan.
Minyak goreng berbahan sawit tergolong tahan panas dibanding produk minyak nabati dari kedelai, canola atau jagung. Minyak sawit juga memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya.