Tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan Perayaan Idul Fitri. Mudik dianggap erat kaitannya dengan tradisi yang diwariskan masyarakat Jawa (Umar Kayam, 2002) di mana pada saat itu mudik adalah kebiasaan petani untuk berziarah ke makam leluhur.
Dalam tradisi mudik, ada nilai-nilai penting dalam kehidupan manusia yang direfleksikan, sehingga mudik untuk masyarakat Indonesia adalah sebuah kebutuhan.
Nilai-Nilai Dimensi Kehidupan Dalam Tradisi Mudik
Pertama, nilai spiritual. Dalam kebudayaan Jawa tidak dapat dipisah antara kehidupan dunia dengan kehidupan setelah kematian. Maksudnya ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak selesai ketika seseorang yang memiliki ikatan keluarga berpulang menghadap Sang Khalik.
Ikatan inilah yang menyebabkan sekalipun terpisah secara wilayah, tidak menyurutkan niat untuk tetap berziarah jika telah direncanakan sebab ada anggapan bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Nilai spiritual ini kemudian berjalan dinamis dengan kultur sehingga melahirkan tradisi mudik.
Kedua, nilai psikologis. Kerasnya kehidupan kota dan pekerjaan yang dijalani menimbulkan kepenatan.Â
Biasanya rasa kangen dilepaskan melalui gawai dan media sosial apalagi karena pandemi momen lebaran sempat dilarang menyebabkan tekanan dan kebosanan menambah kepenatan, kali ini setelah mudik diizinkan maka momen lebaran dapat dihabiskan dengan keluarga sekaligus melepas kepenatan.
Suasana desa yang asri, nyaman, keluarga yang ramah serta suasana rumah yang tenang menjadi alasan yang pas untuk mudik.
Momen mudik menjadi media untuk bernostalgia mengingat masa kecil bersama keluarga, kerabat dan orang-orang yang dicintai menjadi sarana terapi yang cocok untuk meloloskan syaraf-syaraf tegang akibat tekanan pekerjaan dan sebagainya.