Kalau artikel sebelumnya saya menulis tentang Tenun Tanimbar, kali ini saya ingin menulis tentang karya seni yang tak ketinggalan indah yaitu Patung Tumbur. Â Yups Patung Tumbur adalah seni ukir di Pulau Yamdena tepatnya di desa Tumbur estimasi jaraknya lebih kurang 20-an KM dari kota Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), namun jika anda menumpang pesawat, cukup dekat letak desa ini dari bandara Mathilda Batlayeri.Â
Sebagai karya budaya bangsa, sudah sangat betul langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesai dengan menetapkannya sebagai Warisan Budaya Nasional tujuh tahun silam. Anyway, perkembangan seni ukir di Indonesia dimulai sekitar zaman Neolitikum atau Zaman Batu Muda, dimana batu-batu yang digunakan untuk peralatan penunjang kehidupan, mulai diukir walaupun modelnya hanya sederhana seperti lengkungan atau garis.
Perkembangan ukiranpun tak terlepas dari kebiasaan leluhur yang sadar bahwa dalam hidupnya ada suatu "Kekuatan Besar" yang tidak terlihat, dari situ mulailah adanya kepercayaan mula-mula, sehingga terciptalah patung-patung yang diukir sedemikian rupa dan dijadikan obyek pemujaan sebagai representasi "kekuatan" tersebut.Â
Selanjutnya pengaruh berbagai agama yang masuk ke Indonesia, lambat laun motif ukiranpun ikut berkembang, mulai dari yang sederhana sampai motif-motif ukiran 3D seperti sekarang.
Pesona Desa Tumbur
Jika berkunjung ke desa Tumbur, hal pertama yang disuguhkan adalah pemandangan alam desa yang luar biasa. Karena letak desa yang rendah dari jalan masuknya, pemandangan hampir seluruh desa dapat terlihat dengan baik.Â
Pastinya jika berkunjung ke desa-desa di wilayah KKT hal pertama yang terlihat adalah pantainya yang berpasir putih bersih, bahkan silau ketika sinar matahari dipantulkan pasir ke mata kita. Hamparan pohon kelapa yang menghijau sepanjang pantai seakan kontras dengan putihnya pasir.
Tumbur sendiri adalah desa yang ada dalam wilayah Kecamatan Wertamrian, jika anda pelancong yang baru tiba di bandara anda hanya menempuh jarak yang cukup singkat untuk merasakan keindahan desa ini karena jaraknya dekat. Pada hari-hari besar atau kunjungan rombongan wisatawan, sudah pasti akan disambut dengan angkosi oleh mama-mama yang anggun dan cantik dengan balutan kain tenun dan perlengkapan tarian seperti ilustrasi di atas, kemudian dilanjutkan dengan upacara bakar batu seperti dikutip dari kumparan.com.Â
Jangan khawatir sekalipun mayoritas masyarakatnya adalah Katolik yang taat, mereka sangat menghormati tamu-tamu yang berkunjung sehingga suguhan utama dalam bakar batu adalah bentuk pangan tradisional berbahan baku jagung dan umbi-umbian atau dikenal dengan lele jagung atau lele kasbi oleh masyarakat sekitar.Â