Mohon tunggu...
March Garrie
March Garrie Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan, Freelancer

Warga kritis, sedikit narsis, banyak optimis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Cut Intan dan Kekerasan di Negara Patriarki

15 Agustus 2024   16:26 Diperbarui: 15 Agustus 2024   16:37 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa selebgram Cut Intan, yang dibagikan dalam video viral, seharusnya membuka mata kita tentang betapa rapuhnya sistem sosial kita dalam melindungi korban kekerasan. Rekaman CCTV yang memperlihatkan suaminya, Armor, melakukan tindakan brutal terhadap Intan---dari memukul kepala, menjambak rambut, hingga menendang bayinya yang tak berdosa---merupakan gambaran yang sangat mengerikan dan tidak bisa diterima dalam masyarakat yang mengaku beradab.

Kasus ini tidak hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga soal betapa dalamnya patriarki telah merasuki struktur keluarga dan masyarakat kita. Intan sendiri mengakui bahwa ia telah bertahan selama bertahun-tahun dalam pernikahan yang penuh dengan kekerasan dan perselingkuhan, demi menjaga martabat suaminya dan demi anak mereka. Ini mencerminkan realitas menyakitkan yang dihadapi banyak perempuan di Indonesia, di mana mereka merasa terjebak dalam hubungan yang merugikan karena tekanan sosial untuk mempertahankan "keutuhan keluarga" dan takut akan stigma jika mereka berani berbicara.

Namun, apa yang lebih mengkhawatirkan adalah reaksi masyarakat yang sering kali lebih tertarik pada aspek sensasional dari kasus ini daripada esensinya. Ketika kasus ini menjadi viral, fokus banyak orang mungkin tertuju pada drama dan intrik personal, alih-alih memahami betapa parahnya isu KDRT yang terjadi. Kasus Cut Intan menjadi bahan konsumsi publik yang mempertegas budaya victim-blaming dan ketidakpedulian terhadap penderitaan korban. Alih-alih mendapatkan empati dan dukungan, korban sering kali justru dipertanyakan motifnya atau dianggap bertanggung jawab atas penderitaan mereka.

Penetapan Armor sebagai tersangka dan penangkapannya oleh polisi seharusnya menjadi awal dari proses keadilan, tetapi kita tidak boleh terbuai oleh tindakan ini. Sistem hukum kita masih sering kali lambat dan tidak responsif terhadap kebutuhan korban KDRT, dan sering kali lebih mengutamakan rekonsiliasi daripada hukuman yang tegas terhadap pelaku. Ini adalah tanda bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dalam cara kita menangani KDRT, mulai dari penegakan hukum hingga layanan pendukung bagi korban.

Lebih jauh lagi, kasus ini menantang kita untuk melihat kembali peran media dan pengaruhnya dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Alih-alih hanya memberitakan kisah ini sebagai skandal selebriti, media seharusnya lebih proaktif dalam mengedukasi publik tentang bahaya KDRT dan mendesak adanya reformasi yang lebih mendalam dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Kita harus bertanya pada diri sendiri: Berapa banyak lagi perempuan yang harus menjadi korban sebelum kita benar-benar serius menangani KDRT? Kasus Cut Intan bukanlah yang pertama dan, sayangnya, mungkin bukan yang terakhir. Tanpa perubahan yang signifikan dalam cara kita mendukung korban dan menindak pelaku, kita hanya akan terus menyaksikan siklus kekerasan yang tak pernah berakhir. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat berhenti hanya menjadi penonton dan mulai mengambil tindakan nyata untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan di semua lapisan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun