Kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan dengan merendahkan, menghina, melecehkan, bahkan menyerang anggota tubuh, spesifiknya menyerang fungsi organ reproduksi tubuh, akibat adanya relasi kekuasaan dan/atau gender, serta berdampak buruk pada kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Sesuatu dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual bila telah melibatkan kontak ataupun interaksi seksual tanpa consent. Tindakan ini bisa berupa fisik maupun verbal yang dapat terjadi dalam berbagai konteks, bisa dalam hubungan personal, profesional, dan situasi publik. Kejahatan dan kekerasan seksual sangat melanggar integritas dan otonomi tubuh individu sehingga sudah seharusnya semua pihak berupaya bersama dalam menurunkan peluang terjadinya kekerasan seksual.
Dikaji dari data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak Januari 2024 lalu, jumlah kasus kekerasan seksual sudah terjadi sebanyak 19.078 kasus, dengan 4.138 korban laki-laki, dan 16.545 korban perempuan. Jika dilihat dari persentase korban menurut jenis kelamin, terdapat 20.0% korban laki-laki dan 80.0% korban perempuan. Dengan persentase pelaku laki-laki 88.8% dan 11.2% perempuan. Berdasarkan kelompok umur, persentase terbanyak pada korban kekerasan seksual, terjadi pada anak dan remaja berusia 13-17 tahun, sebanyak 35.6%. Sedangkan untuk pelaku banyak dilakukan oleh orang dewasa berusia 25-44 tahun, sebanyak 44.9%. Berdasarkan status usia, kekerasan seksual banyak terjadi pada korban anak, sebanyak 63.2%, dan dilakukan oleh orang dewasa, sebanyak 82.4%.
Jumlah kasus kekerasan seksual yang terus meningkat membuat Indonesia terlihat sebagai Negara Darurat Kekerasan Seksual. Disertai perkembangan teknologi yang pesat, jumlah kasus ini akan semakin bertambah sebab pemicu dan faktor pendorongnya berasal dari kemajuan teknologi, berupa internet. Banyak dari pelaku yang melakukan kekerasan seksual sebab terpicu oleh pornografi yang dilihatnya melalui internet, baik menggunakan atau tanpa vpn dalam mengaksesnya. Lebih parahnya lagi, banyak anak usia dini yang sudah terpapar konten pornografi sebab kebebasan akses internet terhadap hal tersebut. Contoh nyatanya terjadi pada siswi SMP di Palembang yang diduga diperkosa dan dibunuh oleh empat anak, sebab terpapar konten pornografi. Namun nahas, dari keempat pelaku, hanya satu pelaku yang dihukum pidana, sebab tiga lainnya merupakan anak dibawah umur sehingga mereka hanya direhabilitasi. Tentunya, keluarga korban sangat merasakan ketidakadilan ini.
Pada beberapa minggu lalu, terjadi kasus yang mana pelakunya adalah seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Kasus persetubuhan ini dilakukan oleh R (17) terhadap korban perempuannya M (14). Kasus ini disaksikan oleh kelima anak Sekolah Dasar (SD), dan persetubuhan ini juga dilakukan di dalam ruang kelas, di salah satu SD di Demak. Berawal ketika M bersama 2 temannya, siswi Sekolah Dasar (SD) pergi bersama, lalu mereka bertemu dengan R, dan R berbincang kepada 2 teman korban. Setelahnya, 2 teman korban mengajak korban untuk memasuki ruangan yang didalamnya telah terdapat R (pelaku). Ketika M datang, ia langsung ditarik dan ditidurkan ke lantai, lalu disetubuhi. Kejadian ini direkam tanpa consent dan disaksikan oleh kelima anak SD tanpa adanya keinginan untuk menolong korban.
Kemajuan teknologi terutama dalam akses pornografi menjadi salah satu pemicu terjadinya kasus tersebut. Pelaku (R) yang masih tergolong remaja diduga pernah menonton pornografi sehingga terpicu untuk melakukan apa yang telah dilihatnya. Edukasi pengenalan dan pencegahan kekerasan seksual dirasakan diperlukan untuk meminimalisir terjadinya kasus serupa. Pelaku kekerasan seksual yang melakukannya cenderung pernah atau telah kecanduan pornografi sehingga terdorong untuk melakukan hal serupa secara ilegal.
Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya KS, yaitu: melakukan penyuluhan edukasi seksual yang komprehensif kepada anak-anak dan remaja, sebab pelaku dan korbannya cenderung terjadi dan/oleh usia remaja. Adapun, kampanye tentang edukasi seksual diperlukan untuk membangun kepribadian anti Kekerasan Seksual, dengan menanamkan perilaku aman dan waspada pada masing-masing individu. Berdasarkan kelompok usia, pelaku KS cenderung dilakukan oleh yang berusia 25-44 tahun sehingga pembentukan karakter Anti Kekerasan Seksual perlu dilakukan sejak dini. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah terbentuknya karakter predator yang bisa menimbulkan rasa tidak aman, tidak nyaman, dan cemas di lingkungan masyarakat.
Kasus kekerasan seksual ini termasuk ke dalam kasus gawat darurat Indonesia, sebab tiap tahunnya mengalami kenaikan jumlah kasus pada grafiknya. Seluruh elemen masyarakat beserta pemerintah harus saling menjaga dan membantu dalam pencegahan kekerasan seksual. Baik dari segi preventif maupun represif, elemen masyarakat dan pemerintah harus bisa saling menjaga dengan membentuk dan membangun sebuah keluarga yang edukatif terutama terkait hal ini, sebab keluarga merupakan pendidikan dasar dan paling berpengaruh terhadap pembentukan suatu karakter individu. Pastinya, keluarga yang peduli dan edukatif terkait akan hal ini akan sangat berperan dalam peningkatan jumlah predator yang ada di lingkungan sekitar. Adapun, pihak pendidikan dapat mengambil peran cukup banyak dalam hal ini, sebab masa-masa labil atau masa mudah terbentuknya suatu karakter individu dialami ketika ia masih di jenjang sekolah (SD, SMP, SMA, dan PT) sehingga sekolah berperan penting dalam menanggulangi hal ini.
Pemerintah harus lebih menegaskan lagi terkait hukuman pelaku kekerasan seksual dengan membuat, merancangkan, dan menetapkan peraturan yang lebih tegas serta kuat untuk menekan kenaikan grafik terjadinya kekerasan seksual di Indonesia. Pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat harus bekerja sama dalam mengawasi apa yang didapat anak dari internet, pengawasan platform online dan apa saja yang diaksesnya. Pemerintah dapat melakukan penguatan sistem hukum dan dukungan korban, serta intervensi untuk pelaku potensial. Dalam hal ini, pihak Kemendikbudristek dan Kementerian Agama RI dapat menerapkan kebijakan bersama-sama terkait mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan, termasuk penerapannya di madrasah dan pondok pesantren yang termasuk ke dalam satuan pendidikan.
Beberapa pihak terkait diimbau untuk terus bersosialisasi dan membimbing guna memastikan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat di satuan pendidikan, disertai peranan Tim PPK dan kebijakan pimpinan satuan pendidikan. Namun jika diteliti lagi, banyak pihak yang menyarankan dilakukannya pemblokiran situs terlarang, yang mana hal tersebut bukanlah merupakan solusi yang efektif sebab dapat menghasilkan potensi efek kontraproduktif, yaitu pembatasan akses dapat menciptakan “buah terlarang” yang justru meningkatkan ketertarikan sehingga perlu berfokus pada mengubah pola pikir sebagai akar masalahnya.
Oleh karena itu, dengan kesadaran individu dan kolaborasi peranan antarpihak diharapkan dapat menanggulangi serta mencegah kenaikan jumlah terjadinya kekerasan seksual di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H