Mohon tunggu...
Marcell Tama S L
Marcell Tama S L Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Freelancer

Aku suka traveling dan tidur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Psikologi Narasumber: Jurnalis Perlu Mengetahui Hal Ini Saat Mereportase Peristiwa

27 November 2022   07:15 Diperbarui: 27 November 2022   07:16 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemberitaan akan mendapat reaksi yang baik apabila isi yang terkandung menyajikan fakta yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Beragam peristiwa yang diberitakan di televisi dapat membuat kondisi mental seseorang  menjadi lemah, kurang stabil, bahkan mengalami depresi. Pemberitaan yang dilakukan secara sepihak tanpa ada etika yang baik dapat membuat pihak yang disorot akan merasa dirugikan. Maka dengan adanya etika, diharapkan para wartawan dan jurnalis mampu memframing dan menyorot hal-hal yang menurutnya tidak merugikan.

Berita yang beredar di media massa harus mengandung unsur keseimbangan. Tujuan yang melatarbelakanginya adalah agar pemberitaan tidak menguntungkan dan merugikan pihak manapun. Pihak tersebut meliputi narasumber yakni; ilmuwan, birokrat, politisi, pejabat humas, masyarakat yang terdampak, dan anggota yang tidak puas. Berita tidak boleh membelot kepada pihak yang memiliki kekuasaan yang berpengaruh. Melainkan berita haruslah memenuhi tujuan dan kriteria yang sesuai, yakni untuk menginformasikan, untuk menghibur, untuk mengedukasi, untuk mempengaruhi.

Kegiatan reportase atau wawancara membutuhkan banyak persiapan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman antar berbagai pihak. Seperti contoh apabila narasumber yang diperoleh adalah salah satu korban bencana alam, reporter hendak memahami situasi dengan memahami kondisi yang sedang terjadi. Dengan memahami kondisi, reporter harus mengambil langkah dan tindakan lebih tegas, seperti menunjukkan empati dan bela sungkawan kepada korban.

Pemahaman mengenai dampak pemberitaan hendaknya dimiliki oleh setiap pemilik media. Berita yang baik akan menimbulkan pengaruh positif dari audience. Sedangkan berita yang buruk akan menimbulkan pengaruh negatif dan kerugian oleh pihak-pihak yang terkait. Pengaruh negatif dari berita yang buruk dapat merugikan sebagian pihak yang terkait. Baik buruknya kualitas suatu berita dapat dinilai dari sudut pandang psikologi dimana pihak-pihak yang disorot tidak terpojokkan. Dengan demikian kegiatan wawancara untuk menggali informasi pemberitaan harus dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal yang mencangkup psikologi, harga diri, dan perasaan narasumber.

Pentingnya perlindungan psikologi dan etika jurnalisme dalam membuat berita dapat menjadi dasar untuk menjaga nama baik media dan narasumber. Pada tingkat ini kognitif, afektif dan konatif seorang pewawancara sedang diuji. Bagaimana teknik dan cara yang digunakan saat peliputan agar dapat berjalan dengan baik. Selain itu melalui langkah bingkai atau framing yang dilakukan, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek dalam menyorot suatu peristiwa. Define Problems, diagnose causes, and make moral judgment, treatment recommendation adalah perangkat dalam memframing sebuah peristiwa.

Kondisi psikologi masing-masing narasumber sangat berbeda. Setiap narasumber memiliki karakter, tingkat emosional, serta nilai budaya yang berbeda. Pengetahuan wartawan terhadap hal tersebut menjadi prinsip dalam melakukan pendekatan pada narasumber. Sehingga ketika meminta keterangan, narasumber tidak ragu untuk menjawab. Jika mereka sulit untuk menerapkan prinsip tersebut maka narasumber enggan untuk memberikan informasi.

Berbagai macam pertimbangan harus dilakukan pada saat melakukan wawancara agar berita mendapat kesan baik dari audience. Memahami sifat dan kondisi narasumber dapat menjadi salah satu cara untuk memenuhi kriteria etika dalam jurnalisme. Menurut Walter Lippmann, wartawan sekaligus kolomnis ternama AS, pada setiap individu jurnalis terdapat apa yang disebut picture in our head (gambaran-gambaran di kepala kita). Konsep ini berarti bahwa wartawan dan jurnalis tidak bertindak dengan kepala kosong ketika melakukan konstruksi atau rekontruksi sosia terhadap realitas. Picture in our head yang diciptakan tentu harus mengedepankan empatik dengan berpikir kedepannya seperti apa dan tidak mengabaikan cover both side dari pemberitaan itu sendiri. Ruang berita keseimbangan sangatlah diperlukan, ini tidak boleh diabaikan karena semua punya etika bahkan kekuasaan dari pers itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun