Mohon tunggu...
Marcello Dinesh Asyela
Marcello Dinesh Asyela Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kekerasan Pada Anak: Kutukan atau Warisan?

11 November 2024   18:30 Diperbarui: 11 November 2024   18:46 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Amerika Serikat, program "Nurse-Family Partnership" memberikan dukungan kepada ibu hamil dari keluarga berpenghasilan rendah untuk mengurangi kekerasan terhadap anak. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa kekerasan adalah sifat alami manusia, sesuatu yang tidak dapat dihindari sepenuhnya. Namun, saya yakin bahwa kekerasan terhadap anak dapat dihentikan dengan kerjasama yang baik.

Masyarakat sudah terbukti mampu mencapai perubahan yang lebih baik, contohnya dengan dihapusnya praktik perbudakan dan larangan mempekerjakan anak di berbagai negara. Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat, kita mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

Kekerasan terhadap anak ibarat bara api yang dilemparkan pada kita dan  harus kita genggam terus menerus. Rasanya semakin lama akan semakin menyakitkan dan memberikan dampak yang buruk pada tangan kita. Terkadang kita memilih untuk melemparkannya pada orang lain agar orang lain merasakan yang juga kita rasakan, kemudian berlanjut dari satu ke yang lain. Akan tetapi kita juga memiliki pilihan untuk melemparkan bara itu ke arah lain agar orang lain tidak merasakan panasnya. Begitu pun dengan kekerasan anak, semuanya tergantung kita untuk menghentikan siklus terkutuk itu.

Namun, dengan usaha pencegahan yang tepat, seperti memiliki alat pemadam api di rumah, kita dapat mengawal dan menghentikan kekerasan sebelum bertambah luas serta merusak generasi berikutnya. Kekerasan terhadap anak seringkali berdampak mendalam pada kesehatan mental dan fisik mereka. 

Anak-anak yang mengalami kekerasan seringkali menunjukkan tanda-tanda trauma seperti ketakutan berlebihan, kesulitan belajar, dan gangguan emosional. Luka fisik mungkin akan sembuh, tetapi dampak psikologisnya dapat bertahan seumur hidup. Mereka menjalani hidup dalam kegelapan rasa takut dan cemas, selalu terjaga terhadap potensi ancaman yang dapat muncul dari orang-orang yang dekat dengan mereka.

Ketakutan ini menghalangi perkembangan sosial dan emosional mereka, sehingga membuat sulit bagi mereka untuk membangun rasa percaya diri dan berinteraksi secara sehat di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun