Seiring berjalannya waktu kemerdekaan berfikir semakin menunjukkan taringnya, namun apakah hal itu bersinggungan dengan etika?
Schmidt (2000) mengatakan bahwa generasi merupakan kelompok Individu yang dikategorikan berdasarkan pada waktu kelahiran, usia, lokasi, dan peristiwa dalam kehidupan suatu kelompok individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Generasi Z atau yang akrab disebut Gen-Z ditujukan pada sekelompok individu yang lahir pada periode 1996 sampai 2012. Generasi Z merupakan sekelompok individu yang lahir di tengah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sudah berkembang dengan begitu pesat. Oleh karena itu generasi z ini sering dikatakan sebagai iGeneration. Dikarenakan lahir di tengah perkembangan teknologi menjadikan generasi z ini cenderung berpola pikir ingin serba instan. Generasi ini memiliki karakteristik lebih mampu menerima keberagaman dan menginginkan adanya perubahan sosial.Â
Pola interaksi yang berubah karena berkembangnya teknologi komunikasi berdampak pada cara generasi Z berperilaku dan bertutur. Bila generasi sebelumnya bertemu dan berbicara dengan orang lain sudah menjadi makanan sehari-hari. Berbeda dengan generasi Z yang berkomunikasi sudah dengan metode digital melalui surel dan media sosial. Perbedaan perilaku dan tutur kata itulah yang mengundang opini jikalau Gen Z 'miskin' etika. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan generasi Z lebih cenderung hanya berpikir logis dan menghiraukan etika. Menurutnya, pertimbangan mengenai hal baik dan buruk sudah mulai terabaikan.
Pernyataan tentang Generasi Z yang miskin etika ini dilantunkan oleh generasi-generasi sebelumnya, oleh karena itu pernyataan tersebut merupakan salah satu sudut pandang dari sekian banyak sudut pandang. Tentunya hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti peristiwa zaman, pola asuh, dan pola interaksi pada zaman sekarang.
Peristiwa zaman yang dialami oleh generasi Z merupakan sebuah keadaan ideal untuk hidup. Ketersediaan akan segala sesuatu sudah tercukupi karena adanya perkembangan teknologi. Hal ini menciptakan anggapan bahwa segala sesuatu dalam hidup sudah tersedia sehingga tingkat kebutuhan/ketergantungan dengan orang lain semakin menurun. Hal ini membuat Gen Z cenderung tidak memedulikan adab dan etika atau yang akrab disebut lebih 'cuek' terhadap sesama.Â
Kemudian yang tidak kalah mempengaruhi adalah pola asuh. Pola asuh ini menyinggung pada generasi orangtua dari generasi Z yang tidak lain adalah generasi milenial. Generasi milenial merupakan generasi yang berada pada zaman peralihan dari tradisional ke modern. Sehingga terjadi perubahan yang cukup radikal dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial tidak lagi kolot, dan jauh lebih terbuka dengan perubahan, kritik, dan saran. Generasi milenial yang lebih 'open-minded' menjadikan pola asuh generasi ini lebih ke arah partisipatoris dibandingkan represif. Pola asuh ini berdampak pada karakter Gen Z yang lebih 'berani' untuk bertindak dan mengemukakan apa yang ada di pikirannya tanpa peduli dengan pemikiran/pandangan orang lain terhadap perilaku tersebut. Dibandingkan pada generasi sebelumnya yang cenderung dididik secara represif, yang istilahnya "tidak sopan sedikit saja bisa kena hajar rotan".
Faktor terakhir dan yang menurut saya paling mempengaruhi adalah pola interaksi. Menurut laporan survei Alvara Research Center, pecandu internet atau addicted user paling banyak berasal dari kalangan generasi Z. Â Responden generasi Z yang mengakses internet di atas 13 jam/hari mencapai angka 8%. Sedangkan generasi milenial dan generasi X masing masing hanya 3,7% dan 2,6%. Dari survey ini secara tersirat mengatakan bahwa pengakses internet paling banyak adalah dari kalangan Generasi Z. Dengan tidak adanya internet seseorang harus bertatap muka untuk melakukan interaksi, melihat, bersentuhan, dan mendengar suara secara langsung. Sementara dengan adanya internet seseorang tidak perlu melakukan itu semua, sehingga etika dan norma yang berlaku pun pastinya berbeda. Bila bertemu langsung seseorang akan langsung mengenali lawan interaksinya sehingga seseorang cenderung untuk berperilaku dengan sopan dan bertutur kata dengan baik untuk membangun image yang baik di mata lawan interaksinya. Sementara dalam dunia internet seseorang tidak langsung mengetahui siapa yang menjadi lawan interaksinya, seseorang bisa saja menjadi anonim untuk menjadi lebih bebas dalam berpendapat tanpa memperdulikan norma dan etika. Berdasarkan penelitian dari kaspersky 49% respondennya mengatakan tujuan membuat akun anonim adalah untuk berpendapat secara bebas tanpa menghancurkan reputasinya. Kebebasan berpendapat ini yang cenderung membuat generasi Z dapat mengungkapkan buah pikirnya secara lebih liberal sehingga norma dan etika mulai dihiraukan seperti yang dikatakan Menko PMK sebelumnya.Â
Bila saya bercermin pada diri sendiri saya merasa bahwa saya bukan pribadi yang termasuk dalam golongan 'miskin etika'. Sebab saya mengetahui cara berperilaku dan bertindak dengan sopan dan benar. Faktor yang mempengaruhi hal ini adalah didikan orang tua saya yang cukup keras bila mengenai etika. Sedari kecil orang tua saya menerapkan perilaku represif bila saya melanggar standar norma dan etika yang ditetapkan orang tua saya. Memang tidak sekeras pada saat saya masih kecil tetapi sampai sekarang orang tua saya tetap mengingatkan saya jikalau ada norma dan etika yang saya langgar dan memberi tahu saya perilaku yang benar. Tetapi saya merasa semakin saya dewasa orang tua saya semakin jarang menegur saya, akan tetapi saya yang lebih banyak meniru cara orang tua saya berinteraksi.
Saya merasa lingkungan sosial saya yang selama ini lebih mempengaruhi moral dan etika saya ketimbang media sosial. Cara berbicara dan bahasa yang digunakan kebanyakan individu seumuran saya perlahan-lahan saya tiru tanpa memperdulikan baik atau tidaknya. Sebab semakin banyak orang yang terpengaruh maka akan semakin besar generalisasi dalam pola pikir saya, yang istilahnya membuat saya berpikir bahwa hal ini 'wajar' untuk dilakukan untuk anak seumuran saya.Â
Melihat budaya partisipatoris yang ada di Kolese kanisius, sebetulnya mendukung pola perilaku para generasi baru. Sebab dalam pembelajaran di kelas, siswa dituntut untuk menjadi aktif dalam beropini dan memberikan tanggapan atas apa yang terjadi maupun yang dipelajari. Hal ini lambat laun merangsang mindset kemerdekaan beropini pada siswa. Para siswa pun menjadi tidak perlu lagi untuk memendam pemikiran-pemikiran mereka terhadap suatu hal yang tidak mereka setujui. Contohnya pada zaman angkatan orang tua kami mungkin mereka akan memendam ketidaksetujuan mereka akan jadwal ujian, peraturan, atau yang lain, sementara pada generasi sekarang ini para kanisian lebih "berani" mengungkapkan ketidaksetujuan mereka, meskipun di telinga para guru mungkin hal ini terkesan "kurang ajar" karena perbedaan pola interaksi saat mengajar generasi ini dengan generasi-generasi sebelumnya. Hal ini juga yang terjadi pada peristiwa yang telah dibahas. Pernyataan miskin etika ini muncul ketika seseorang secara sadar mengungkapkan pendapatnya tanpa memikirkan apa yang mungkin dirasakan orang lain. Ketika seseorang pada generasi ini berpikir, "tidak ada salahnya mengungkapkan pendapat", pastinya akan mendapatkan kritik dari seseorang dari generasi sebelumnya.Â