Hampir di setiap destinasi wisata yang pernah saya kunjungi, baik di Italia maupun di luar italia, satu benda ini wajib ada di kios-kios oleh-oleh. Benda wajib ini ialah kartu pos.
Awalnya saya agak heran dan bertanya-tanya, "menangnya masih ada yang beli ya? Misalkan ada, lalu buat apa?" Pertanyaan saya ini mungkin tepatnya bisa diformulasikan demikian: "Masih relevankah eksistensi kartu pos di masa sekarang ini yang serba mendewakan kecepatan dan hal-hal yang serba instan?"
Pada mulanya adalah SAPA...
"Ciao (bello/a)... come stai?" | "Hei (ganteng/cantik/bro-sis)... apa kabar?"
Ramah... itulah kesan yang pertama muncul ketika memulai petualangan hidup baru di Negeri Pizza ini sekitar 2,5 tahun lalu. Sapaan-sapaan di atas tidak hanya dijumpai ketika memasuki suatu toko untuk membeli sesuatu, melainkan ketika sedang melakukan jalan-jalan santai baik di kota, atau pun di daerah pemukiman penduduk.
Sapaan-sapaan lain bisa saja berbunyi demikian: Ciao!!! (Hi!), Salve! (Hello! -- nuansa lebih formal), atau pun buongiorno/buon pomeriggio/ buona sera (selamat pagi/siang/malam).
Sapaan-sapaan tersebut memang sederhana, tetapi sangat berkesan bagi saya yang saat itu baru saja datang ke tempat baru. Belum lagi seringkali mereka melontarkan pujian-pujian sederhana kepada kita, seperti: che bravo! (Wah hebat ya..) Atau Che figo! (Wah keren ya..).
Dalam ilmu atau pun trik-trik komunikasi, sapaan memiliki peran yang penting. Sebagai langkah pertama dalam komunikasi, bentuk "sapaan" yang tepat menentukan alur dan nasib komunikasi selanjutnya. Mengapa? Karena sapaan meninggalkan kesan.
Lalu hubungannya apa dengan eksistensi kartupos? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya jawab dengan bertanya kembali: apa yang biasanya kita tuliskan pertama kali ketika menulis surat (baik surat elektronik), formal atau non formal (via pesan singkat di Whatsaap atau dlsb)? Tentunya "sapaan"-lah yang pertama kali dituliskan. Begitupula dengan kartupos.