"Metaverse", akhir-akhir ini kita sering mendengar kata ini dalam percakapan atau membaca kata ini dalam artikel-artikel media, apa sih arti yang sebenarnya? Metaverse adalah platform 3-dimensi yang ditujukan untuk sosial. Alih-alih games 3D yang lain, metaverse digunakan sebagai media sosial oleh penggunanya.
Dalam artikel ini saya tidak akan berbicara tentang metaverse dalam kaitannya dengan crypto atau NFT. Sudah ada banyak artikel tentang itu di berbagai media. Saya akan berbicara dari sudut pandang saya sebagai pemakai aktif metaverse sejak 12 tahun silam dan dunia pendidikan.
Sebagai media sosial, pengguna metaverse yang diwakili oleh para avatar bersosialisasi, bergaul, bahkan menjalin hubungan romantika. Mereka juga bermain peran, ada yang membentuk keluarga lengkap: ayah, ibu, dan anak bahkan nenek-kakek. Hebatnya, semua itu diatur dalam sistem adopsi yang sah ala dunia metaverse.
Namun lebih dari itu, metaverse bisa digunakan pula untuk berbisnis karena memiliki sistem keuangan sendiri di dalamnya. Uang di metaverse bisa disalurkan menjadi uang di dunia nyata.Â
Di sini saya tidak hendak berbicara tentang crypto, namun benar-benar sistem perdagangan barang dan jasa di dalam metaverse. Barang yang dijual meliputi banyak hal yang mendukung kehidupan di dalam metaverse, seperti baju avatar, avatar itu sendiri, rumah, furniture, barang seni, script untuk memprogram benda-benda di dalam metaverse, dan banyak lagi yang lain. Untuk jasa, banyak orang menjadi pengajar software Blender, Photoshop, script, fotografi, dan lain-lain yang akan mendapat uang tips seikhlasnya.
Sebagai penjelajah dunia metaverse sejak tahun 2010, saya pernah menjalani bisnis dengan cara berjualan baju avatar, karya seni, menjadi pengajar fotografi dan menjadi penulis sebuah media metaverse. Walaupun hasil keuangannya masih belum bisa menghidupi dunia nyata, tapi sudah bisa saya gunakan untuk membayar sewa tanah di metaverse.
Mengapa saya merasa perlu sewa tanah? Karena dengan memiliki tanah saya bisa membuat berbagai barang tanpa merusak atau mengganggu properti orang lain, dan saya bisa melakukan transfer file-file 3D yang saya buat di dunia nyata untuk masuk ke dunia metaverse ini dengan leluasa. Selain itu, dengan menyewa lahan saya bisa mendengarkan streaming radio pilihan sendiri.
Waktu itu saya memilih untuk tinggal di metaverse yang namanya Second Life, karena ada banyak teman dunia nyata yang juga memilih metaverse ini untuk bermain. Sewa lahan kecil ukuran 2048x2048 m2 di Second Life memerlukan biaya sekitar Rp. 150.000 hingga Rp. 250.000 per bulan. Jadi bisa dilihat berapa penghasilan saya dari berbisnis di metaverse ini.
Yang saya suka dari metaverse sebenarnya bukan hanya kemungkinan untuk berbisnis, karena bisnis saya waktu itu memang sekedarnya saja, tidak terlalu maju juga, sehingga jika diperhitungkan untung-ruginya, sebenarnya banyak ruginya jika dilihat dari segi waktu.Â
Untuk membuat baju avatar misalnya, dibutuhkan waktu untuk mendesain, menerapkannya menjadi object 3D yang membutuhkan banyak waktu.Â