Mohon tunggu...
Marcellino Grant Hadisiswoyo
Marcellino Grant Hadisiswoyo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

:)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Krisis 1998 di Indonesia: Mengurai Akar Masalah dan Langkah Pencegahannya

12 September 2024   03:32 Diperbarui: 12 September 2024   03:32 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa di masa lalu, tetapi juga cermin bagi masa depan. Krisis ekonomi dan kerusuhan 1998 di Indonesia memberikan pelajaran penting yang masih relevan hingga hari ini: tentang pentingnya stabilitas, keadilan, dan keberanian untuk berubah."

Krisis ekonomi 1998 merupakan salah satu titik terburuk dalam sejarah Indonesia, di mana krisis moneter berubah menjadi krisis sosial, politik, dan kemanusiaan. Krisis ini tidak hanya menyebabkan runtuhnya nilai tukar rupiah dan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, tetapi juga mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang saat itu penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akibatnya, gelombang protes dan kerusuhan pun meluas, yang akhirnya menggiring pada berakhirnya era Orde Baru. Untuk memahami lebih dalam, kita perlu melihat latar belakang krisis ini dan bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi.

Baca juga: Penggunaan Gadget dalam Pembelajaran Sekolah, Efektif atau Tidak?

Latar Belakang

Krisis ekonomi Indonesia yang memuncak pada tahun 1998 sebenarnya bermula sejak tahun sebelumnya, yaitu pada 1997. Sebelum krisis tersebut terjadi di Indonesia, krisis ekonomi telah terjadi di Thailand pada Januari 1997. Krisis di Thailand ini menyebabkan nilai tukar mata uang baht (Thailand) terhadap dolar AS melemah hingga 20%. Peristiwa ini tidak hanya menyebabkan nilai dolar AS semakin kuat, tetapi juga berdampak pada perekonomian di kawasan Asia lainnya, termasuk Indonesia. Akibatnya, penurunan nilai baht memicu kekhawatiran para investor yang kemudian menarik kembali investasinya dari negara-negara Asia di sekitarnya yang juga dikhawatirkan terkena dampaknya. Oleh karena itu, nilai rupiah pun ikut mengalami penurunan.

Awalnya, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sangat yakin bahwa krisis mata uang di Thailand tidak akan berpengaruh ke Indonesia. Namun, kenyataannya berbeda. Saat itu, Indonesia memiliki utang luar negeri yang lebih tinggi dibandingkan Thailand, yaitu sekitar 109 miliar dolar AS atau 48% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia juga memiliki cadangan devisa yang sangat terbatas, yang menyebabkan pemerintah harus mencari cara lain untuk mengatasi situasi tersebut. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengganti kebijakan nilai tukar dari sistem kurs mengambang terkendali (managed floating) menjadi mengambang bebas (free floating). Pergantian kebijakan ini menyebabkan nilai rupiah ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar tanpa campur tangan pemerintah. Kebijakan tersebut awalnya diharapkan mampu mengatasi krisis yang terjadi. Namun, upaya tersebut justru memperburuk kondisi nilai rupiah di Indonesia. Nilai rupiah terus terdepresiasi dan mencapai titik terendahnya pada Januari 1998 dengan kurs Rp16.000,00 per dolar AS.

Pemerintah Indonesia bahkan sempat meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang memberikan banyak pinjaman untuk mencoba mengatasi krisis yang terjadi. Namun, upaya tersebut juga gagal, dan krisis yang terjadi menyebabkan sebanyak 16 bank swasta terpaksa tutup. Sejak saat itu, banyak rakyat Indonesia yang semakin tidak percaya dengan pemerintahan yang ada. Mereka menganggap pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik.

Selain itu, inflasi melonjak, harga-harga bahan pokok meningkat, banyak perusahaan modern bangkrut, dan jutaan pekerja terpaksa diberhentikan dari pekerjaan mereka. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mengeluh dan melakukan protes atau demonstrasi pada Mei 1998 di berbagai kota, dengan Jakarta sebagai pusatnya. Demonstrasi ini dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggap melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan tidak mampu mengelola situasi ekonomi yang memburuk. Demonstrasi ini berlangsung terus-menerus dan berujung pada kerusuhan yang melibatkan kekerasan dan penjarahan di banyak wilayah. Puncak dari kerusuhan ini terjadi saat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Kerusuhan yang dahsyat ini menyebabkan banyak bangunan hancur akibat terbakar dan juga banyak korban jiwa.

Data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyatakan bahwa jumlah korban jiwa di Jakarta akibat kerusuhan 1998 mencapai 1.190 orang. Salah satu kelompok masyarakat yang terdampak dalam kerusuhan ini adalah warga keturunan Tionghoa. Hal ini disebabkan adanya stereotip negatif yang menganggap kelompok ini sebagai pihak "asing" yang kerap sukses dalam bisnis dan ekonomi. Mereka dipandang sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakadilan ekonomi, sehingga menjadi sasaran dalam kerusuhan yang terjadi.

Baca juga: Gelar Profesor: Antara Penghormatan dan Beban Status

Dampak Langsung dan Tidak Langsung bagi Masyarakat

Dampak Langsung

  • Rasa Ketakutan Akibat Kerusuhan
    Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 menimbulkan rasa ketakutan yang mendalam di kalangan masyarakat, terutama di komunitas etnis Tionghoa. Banyak yang merasa terancam setelah mendengar laporan mengenai pembakaran bangunan, penjarahan, dan kekerasan terhadap kelompok etnis tertentu. Situasi ini menyebabkan banyak keluarga terpaksa bersembunyi dan menghindari keluar dari rumah mereka. Ketidakmampuan aparat keamanan seperti polisi dan TNI untuk memberikan perlindungan membuat masyarakat harus melindungi diri mereka sendiri. Di beberapa area, warga setempat berhasil menahan massa yang mencoba menyerang, tetapi kerusuhan terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian, mendorong sebagian orang untuk melarikan diri ke luar negeri sampai situasi membaik.

  • Kerusakan Properti dan Kehilangan Harta
    Banyak bisnis dan properti mengalami kerusakan parah akibat kerusuhan. Beberapa pengusaha yang baru memulai usaha mereka kehilangan hampir seluruh modal yang telah diinvestasikan setelah mengalami penjarahan dan pembakaran. Kondisi ini memaksa mereka untuk memulai kembali dari nol. Di sisi lain, beberapa komunitas yang tidak langsung terpengaruh oleh kerusuhan tetap mengalami dampak tidak langsung seperti penumpukan harta hasil jarahan dari tempat lain.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
    Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun