Profesor. Orang yang memiliki gelar tersebut sering dianggap sebagai dewa. Namun, ternyata orangnya sendiri tidak suka dipanggil dengan sebutan tersebut.
Banyak yang mengira gelar profesor adalah gelar yang ingin didapatkan banyak orang, berpikir bahwa seorang profesor dianggap sudah menjadi ahli yang hebat di bidangnya dan tentunya dipercayai oleh mayoritas masyarakat. Namun, Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), tidak suka dipanggil sebagai profesor. Ia meminta agar penulisan gelarnya tidak ditulis lengkap kecuali dalam beberapa dokumen penting seperti ijazah. Ia merasa lebih nyaman menggunakan sebutan umum seperti "Pak," "Mas," dan lainnya. Situasi ini menunjukkan bahwa tidak semua profesor merasa nyaman karena selalu dianggap memiliki status yang tinggi. Mereka terkadang merasa keberatan dengan adanya gelar itu yang selalu tercantum dalam identitas mereka di mana pun mereka berada. Gelar profesor memang seharusnya menjadi gelar akademik yang menunjukkan bahwa orang tersebut ahli di bidangnya, tetapi gelar itu tidak perlu menjadi sesuatu yang selalu dipamerkan kepada semua orang.
Bagong Suyanto, seorang Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa gelar profesor menunjukkan jabatan fungsional akademik, bukan sebagai simbol status atau gengsi. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan keadaan di Indonesia. Banyak orang di Indonesia mengincar gelar profesor karena motivasi ekonomi. Mereka ingin mendapatkan gelar profesor agar terkenal sehingga statusnya dianggap tinggi dan pada akhirnya berujung pada pencarian nafkah yang lebih mudah. Seringkali mereka yang memiliki motivasi tersebut berusaha mendapatkan gelar profesor dengan cara-cara yang tidak etis. Akibatnya, fungsi gelar profesor sebagai gelar akademik sering disalahgunakan demi keuntungan pribadi.
Hal ini dibuktikan dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan ketidakjujuran akademis tertinggi. Dengan kata lain, banyak orang melakukan kecurangan dalam proses untuk mendapatkan gelar tersebut. Terlihat bahwa integritas publikasi ilmiah di Indonesia sangat rendah, yang menyebabkan orang-orang bisa mendapatkan gelar profesor dengan usaha yang tidak maksimal. Oleh karena itu, penanggalan jabatan profesor ini, seperti yang dilakukan Fathul Wahid, tidak menimbulkan dampak negatif. Hal tersebut justru dilakukan agar masyarakat bisa menilai kualitas dan kinerja seorang profesor tidak sekadar karena gelarnya saja.
Seperti peribahasa "jangan menilai buku dari sampulnya," masyarakat seharusnya bisa melihat kualitas dan integritas seseorang, khususnya profesor, tidak hanya dengan melihat gelarnya saja. Masyarakat harus bisa menilai seorang profesor dengan melihat kinerjanya secara langsung, hasil-hasil penelitian yang telah mereka lakukan, dan seberapa besar kontribusi mereka dalam bidangnya masing-masing. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat bisa menentukan apakah orang tersebut layak untuk menjadi seorang profesor yang benar-benar berkompeten dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H