Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terkenang Belajar Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Kedua

11 Oktober 2016   19:06 Diperbarui: 11 Oktober 2016   19:19 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin demikianlah sifat manusia semakin tua semakin sering mengingat masa lalunya terutama masa muda dan masa kanak kanak.Sekarang  ini saya teringat lagi ketika mula pertama belajar Bahasa Indonesia.Kenangan ini di mulai di Kota Padangsidimpuan (dulu Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan) Sumatera Utara. Tahun 1956 saya masuk kelas satu Sekolah Rakyat (sekarang SD) Latihan SGA(Sekolah Gutu Atas).Sekolah kami ini tempat berlatihnya calon guru yang bersekolah di SGA Negeri.

Pada kelas satu bahasa pengantar yang digunakan ialah Bahasa Daerah Angkola yang merupakan lingua franca di Kota Padangsidimpuan dan sekitarnya.Jadi mata pelajaran diterangkan guru dalam bahasa lokal. Guru kami di kelas satu adalah guru tua (guru natobang) yang sudah berpengalaman namanya Sutan Endar Bongsu Harahap. Pak Sutan selalu memakai Jas dan rapi datang ke sekolah naik sepeda atau juga disebut kereta angin.

Di kelas satu kami mulai diperkenalkan dengan huruf dan sesudah  mulai kenal huruf diajari lah membaca buku dan nama bukunya "Mutik Naposo" yang artinya tunas muda. Selain belajar huruf dan membaca kami juga diajari berhitung sebatas menambah dan mengurang.Setelah satu tahun di kelas satu ,naiklah ke kelas dua  bahasa pengantar utama masih bahasa Angkola tetapi kami mulai diajari Bahasa Indonesia. Untuk belajar Bahasa Indonesia buku acuan adalah "Bahasaku", terbitan Jakarta tapi pengarangnya saya lupa(mungkin Purwadarminta).Buku "Bahasaku" mulai memperkenalkan kata dalam Bahasa Indonesia dan pada setiap kata ada kata sambung.

Misalnya " kami" ditulis ka-mi,"mereka" ditulis me-re-ka. Pada buku "Bahasaku" ada tokoh didalamnya yang bernama Si Didi.Pada masa itu kalau ada yang menanyakan ke seseorang yang berprofesi guru apa pekerjaannya maka dia akan menjawab "Guru Si Didi".Sesudah mulai bisa berbahasa Indonesia maka di kelas dua bahasa pengantar yang digunakan guru adalah bahasa Angkola dan Bahasa Indonesia,istilah kerennya "bi langguage".Sesudah mulai mengerti bahasa Indonesia mulai tumbuh rasa bangga bisa berbahasa nasional sehingga mulai mengerti ketika mendengar radio.

Ada juga yang menggelikan dalam belajar bahasa nasional ini ketika salah "menterjemahkan "maksud kalimat.Dalam bahasa Angkola menyatakan pergi ke sungai " kehe tu aek" ,kehe artimya pergi dan aek artinya air.Nah ketika mengatakan dalam bahasa Indonesia ,"pergi ke sungai " ,disebutnya menjadi "pergi,ke air" karena "aek" juga berarti sungai dalam kalimat " kehe tu aek". Di kelas dua juga ilmu berhitung mulai ditambah dengan mengkalikan dan membagi.

Alat bantu yang digunakan adalah lidi yang di potong potong.Misalnya untuk memahami 15 dikurang lima maka pada awalnya lima belas batang lidi dikelompokkan jadi satu baru dikeluarkan lima batang lidi baru dihitung  lidi yang tinggal sama dengan sepuluh .Walaupun sudah belajar Bahasa Indonesia tapi pada kelas dua masih dipelajari buku Berbahasa Angkola namanya "Sinondang".dan juga "Singgolom" yang dikarang Pendeta asal Jerman J.G.Dammerboer. 

Pada kelas tiga bahasa pengantar sudah mulai penuh berbahasa Indonesia walaupun buku bahasa lokal masih digunakan seperti "Tolu Sa Anggaran".Buku bacaan berbahasa Indonesia semakin banyak mengandung cerita terutama mengenai kota kota di Indonesia dan buku bacaan yang paling saya senangi bernama "Pancaran Bahagia". Kelas empat sampai kelas enam bahasa yang digunakan sudah sepenuhnya berbahasa Indonesia .Buku buku pelajaran juga berbahasa Indonesis seperti buku tentang Ilmu Alam,Ilmu Tumbuh-Tumbuhan,Ilmu Hewan,Ilmu Berhitung.Ilmu Bumi ,Budi Pekerti dan juga Ilmu Agama.

Namun biarpun buku dan pelajaran sudah berbahasa Indonesia tetapi buku dengan Bahasa Angkola masih dipelajari seperti "Dua Uli " dan "Rante Omas", malahan aksara Angkola juga dipelajari melalui buku "Pangitean".Pada kelas enam pelajaran Bahasa Indonesia semakin penting karena pada ujian akhir SD(sejenis Ebtanas) mata pelajaran yang diujikan sebagai syarat Lulus SD hanya tiga yaitu:Berhitung,Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Umum.Apabila nilai Bahasa Indonesia jelek siswa tidsk lulus.

Demikianlah sekelumit kenangan belajar Bahasa Indonesia sebagai "bahasa kedua" ,kenangan yang sama tentunya juga dialami oleh puluhan juta anak bangsa.Dan rupanya sejak masa yang lalu perlahan lahan telah ditimbuhkan semangat untuk menjadi Indonesia dan mari terus kita jaga kita tumbuh kembangkan semangat mencintai Indonesia.

Salam Persatuan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun