Sepanjang proses pilgub DKI yang lalu ,sebagian besar umat Islam yang tidak senang dengan Ahok, mungkin menjadikan Said Aqil Siroj sebagai figur  yang paling mereka benci.
Mereka membencinya karena Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini tidak menyetujui Aksi Aksi Bela Islam yang diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI .
Malahan Said Aqil Siroj melarang anggota NU membawa panji-panji, bendera atau lambang NU andainya ada anggota NU yang mengikuti aksi tersebut.
Sikap Ketua Umum NU tersebut berangkat dari kekhawatiran bahwa aksi-aksi tersebut punya agenda lain termasuk adanya agenda tersembunyi dari beberapa tokoh yang akan memanfaatkan aksi tersebut untuk mendirikan kekhalifahan  di negeri  ini dan juga adanya keinginan untuk mengganti ideologi negara. Bahkan lebih dari itu aksi juga dikhawatirkan mencoba menyentuh mereka yang tinggal di istana.
Untuk sikapnya yang demikian, Said Aqil Siroj dihujat ,dikritik bahkan dicerca oleh sebahagian umat Islam .
Berbagai tuduhan disematkan kepadanya seperti Syiah, pro Ahok dan berbagai label negatif lainnya juga diungkapkan.
Hal yang lebih miris mengemuka tuduhan bahwa NU lebih merasa penting menjaga kepentingan Kristen seperti ikut sertanya GP Anshor menjaga gereja pada malam Natal dan disisi lain menginginkan pembubaran ormas Islam yang disebut radikal dan garis keras.
Sebagaimana diketahui, Said Aqil Siroj beberapa kali telah mengeluarkan pernyataan yang meminta agar pemerintah membubarkan ormas Islam garis keras.
Sesungguhnya kalau dipahami himbauan, seruan dan sikap yang ditunjukkan oleh Ketua Umum NU itu berangkat dari pemikiran dasar NU yang ingin terus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU tidak pernah bermimpi untuk mendidirikan negara Islam.
NU juga menyadari kebhinnekaan bangsa ini dan karenanya sikap tasamuh atau toleransi selalu harus dipupuk dan dipelihara. NU juga tidak rela negeri ini terpecah karena masalah dan issu agama.
Mungkin bagi sebagian ummat Islam ada yang menganggap aneh bagaimana NU sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini selalu menjalin komunikasi dengan organisasi dan tokoh tokoh agama non Muslim. Tapi sikap yang demikian haruslah tetap dipahami sebagai bagian sikap NU yang memandang NKRI dan Pancasila sebagai bentuk negara dan falsafah negara yang sudah final dan karenanya harus terus dipertahankan. Dengan demikian komunikasi yang dilakukan justru untuk tetap mengokohkan semangat berbangsa dan bernegara.