Di negara yang demokratis adalah merupakan hal yang lumrah adanya partai yang memerintah dan adanya partai yang diluar pemerintahan yang sering juga disebut sebagai partai oposisi. Sedangkan di negara totaliter yang ada hanyalah partai yang memerintah.Kalaupun ada yang disebut partai oposisi hanyalah sekedar kosmetika demokrasi semata atau boleh juga disebut sebagai oposisi " ecek ecek".
Sejatinya adanya partai oposisi itu dibutuhkan untuk mengawasi dan mengkritik pemerintah.Sering pemerintah tidak mampu secara jernih untuk menilai kebijakannya sehingga dia membutuhkan " mata" pihak lain untuk menilainya.
Berkaitan dengan hal tersebut kritik yang diajukan oleh partai oposisi itu seyogianyalah berbasiskan data dan argumentasi yang kuat yang didorong oleh keinginan untuk memajukan bangsa dan negaranya.
Memang tidak ada yang melarang kritik yang " asbun " ,asal bunyi.Tidak ada yang melarang kritik yang didasari kenyinyiran.Juga tidak ada yang melarang kritik yang didramatisir bahkan juga dengan penuh sensasi.Tetapi untuk penumbuhan demokrasi maka sangat bergunalah kritik yang disampaikan itu secara sehat.
Merujuk kepada sejarah di negeri ini ,kita mulai mengenal pengertian partai oposisi atau partai di luar pemerintahan sesudah runtuhnya Orde Baru tahun 1998.
Memang masa awal awal kemerdekaan dan juga ketika republik ini dibawah naungan Undang Undang Dasar Sementara  Tahun 1950 ( UUDS 1950) dengan sistim pemerintahan parlementer ,kita juga sudah mengenal istilah partai oposisi.
Tetapi artikel ini akan lebih memfokuskan tentang adanya partai oposisi sesudah reformasi. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung untuk pertama kalinya dilaksanakan tahun 2004. Pada putaran kedua pilpres tersebut ,pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla berhasil mengalahkan pasangan Megawati -Hasyim Muzadi.
Pada putaran pertama, pasangan  ini hanya diusung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan PKPI. Pada putaran pertama tersebut beberapa partai besar mengusung sendiri pasangan calonnya. Sesudah SBY- JK menang maka beberapa parpol yang tadinya tidak mengusung paslon ini mulai merapat dan kemudian ikut menjadi bahagian dari Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin SBY.
Tetapi PDIP punya sikap yang lain .Partai pimpinan Megawati ini menyatakan berada diluar pemerintahan dan tentulah kita boleh menyebutnya sebagai partai oposisi.
Begitu juga halnya ketika pada pilpres 2009 ,Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto dikalahkan oleh pasangan SBY - Boediono ,maka dalam pemerintahan SBY- Boediono tersebut PDIP dan Gerindra tidak masuk dalam jajaran kabinet.
Dengan demikian PDIP secara konsisten berada 10 tahun di luar pemerintahan.Begitu juga halnya dengan Gerindra juga berada di luar pemerintahan.
Setelah 10 tahun menjadi partai oposisi barulah pada Oktober 2014 ,PDIP masuk di Kabinet Kerja Jokowi. Masuknya partai ini dalam kabinet Jokowi karena PDIP lah partai pengusung utama pasangan Jokowi -JK pada pilpres 2014. Partai pengusung lainnya pasangan ini ialah Hanura,Nasdem dan PKB.
Pada pilpres 2014 yang menjadi lawan tanding Jokowi- JK adalah pasangan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa. Prabowo Subianto adalah Ketua Umum Partai Gerindra sedangkan Hatta Rajasa adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).Pasangan ini diusung oleh Golkar ,Gerindra PKS,PAN Â dan PPP.
Pada masa pilpres itu pertarungan terasa sangat hangat dan masing masing parpol pendukung berhimpun diadalam dua koalisi besar yakni Koalisi Indonesia Hebat ( KIH) untuk parpol pengusung Jokowi -JK dan Koalisi Merah Putih ( KMP) untuk parpol pengusung Prabowo Subianto -Hatta Rajasa . Polarisasi kedua koalisi ini sangat terasa pada pemilihan pimpinan DPR RI,oktober 2014. Kita menyaksikan semua pimpinan dewan dikuasai oleh KMP dan tidak ada satu pun yang diserahkan pada KMP.
Suasana politik pada masa itu terutama di parlemen sering menggambarkan polarisasi itu.