Pilpres akan berlangsung sekitar  11 bulan lagi dan terasa suhu politik makin memanas. Issu issu baru bermunculan dan tanggapan terhadap issu juga menimbulkan kesan saling bersahut sahutan yang seolah olah membagi kekuatan politik bangsa ini pada dua kutub besar: Jokowi dan Prabowo.
Adanya dua kutub yang demikian sudah berlangsung sejak pilpres 2014 dan kelihatannya polarisasi kekuatan politik tersebut terus berjalan hingga hari ini.
Memang polarisasi yang demikian pernah juga mengalami beberapa interupsi seperti kunjungan Jokowi ke kediaman Prabowo di Hambalang tahun 2016 dan juga kunjungan balasan mantan Pangkostrad itu ke Istana. Tetapi belakangan ini polarisasi itu semakin terasa lagi.
Ketika Prabowo menyatakan Indonesia akan bubar di tahun 2030, tanggapan terhadap hal itu dengan spontan bermunculan. Tidak dapat dinafikan berbagai komentar yang pro dan kontra terhadap hal tersebut selalu bertitik tolak dari sikap ,pro atau kontra kepada Prabowo yang sekaligus juga menunjukkan sikap pro atau kontra terhadap Jokowi.
Diperkirakan polarisasi politik yang demikian akan semakin tajam hingga pelaksanaan pilpres nanti. Masing masing kekuatan politik yang terbentuk akibat polarisasi itu terus mengkonsolidasi kekuatannya. Oleh karena pada pemilu 2019 untuk pertama kali disatukannya pemilihan anggota legislatif dan pilpres maka para parpol pengusung atau bakal pengusung capres juga mulai sekarang akan memanfaatkan ketokohan sosok yang akan diusungnya untuk meningkatkan elektabilitas partai. Begitu juga serangan politik kepada sosok yang tidak akan diusungnya juga akan memberi dampak terhadap tingkat keterpilihan partai.
Untuk mencegah terjadinya polarisasi yang tajam antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo banyak juga kalangan yang menginginkan terbentuknya poros ketiga. Secara teori poros ketiga ini dapat dibentuk oleh koalisi Demokrat, PKB dan PAN. Tetapi sampai sekarang belum ada tanda tanda yang kuat bahwa poros baru ini akan terbentuk.
Mengingat sampai sekarang nama kuat yang muncul hanyalah Jokowi dan Prabowo maka semakin terasa tajamnya persaingan diantara kedua pendukungnya. Hiruk pikuk politik yang demikian juga terasa di dunia media sosial.
Mardani Ali Sera, politikus Partai Keadilan Sejahtera menggagas sebuah gerakan yang bertagar #2019 Ganti Presiden. Ia mengatakan mengusung gerakan ini untuk mendidik masyarakat dalam berpolitik, "Gerakan #2019 Ganti Presiden akan memberikan data, analisa, untuk menyodorkan calon lain yang lebih baik agar dipilih pada Pilpres 2019", ujar Mardani ,4 April 2018( Tempo.co,4/4/2018).
Politikus PKS ini juga mengatakan gerakan ini merapakan antitesa dari gerakan yang sudah bergulir yaitu " Dua Priode" untuk Presiden Joko Widodo.
Berkaitan dengan gerakan yang diinisiasi Mardani Ali Sera tersebut, Umum Partai Persatuan Pembangunan ( PPP), Romahurmuzij menanggapinya dengan santai dan dengan berkelakar dengan mengusulkan akan adanya tagar # Lanjutkan 212.
Menurut Ketua Umum PPP yang akrab disapa Romi itu,pengertian 212 ialah Jokowi sudah dua priode memimpin Kota Solo, Satu Priode menjadi Gubernur dan Insya Allah 2 priode menjadi Presiden, ucap Romi di Jakarta, Rabu,4/4/2018( merdeka.com.4/4/2018). Walaupun Romi masih dalam tahap berkelakar menyebutnya tapi bukan tidak mungkin #Lanjutkan 212 akan diwujudkan .Hal itu tidak hanya itu bisa dilakukan PPP tapi bisa juga dilakukan oleh kelompok lain pendukung Jokowi.
Kalau hal yang demikian terjadi maka medsos kita akan semakin ramai dengan munculnya pertarungan ,perbincangan maupun perdebatan tentang calon presiden yang ideal.