Posisi Setnov secara hukum sekarang ini adalah tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.Dengan status yang demikian ia sekarang ditahan di Rutan KPK.
KPK dan juga sebahagian masyarakat tentu meyakini bahwa Setnov melakukan tindakan korupsi yang dituduhkan kepadanya. Keyakinan tersebut muncul dengan mengemukanya beberapa kesaksian yang menyatakan bahwa Ketua DPR tersebut memang ikut mengatur tender pengadaan e KTP dan juga adanya aliran dana yang mengalir kepadanya.
Jaksa KPK mengatakan kerugian negara pada pengadaan e- KTP tersebut sekitar Rp.2,3 Triliun dan sejumlah dana Rp.500 miliar lebih mengalir ke Setnov.
Beberapa pengakuan saksi pada berbagai persidangan dugaan korupsi e- KTP juga menguatkan indikasi bahwa sejumlah dana besar diterima oleh Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Ditengah tengah kuatnya opini yang terbentuk tentang keterlibatan politisi Golkar kelahiran 1955 itu ,menjadi menarik mengikuti keterangan Otto Hasibuan yang dikemukakannya pada Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One ,Selasa,21 November 2017. Otto Hasibuan ,pengacara yang pernah membela Jessica Kumolo Wongso itu baru bergabung memperkuat tim kuasa hukum Setya Novanto.
Otto menyatakan ,dia pernah menanyakan kepada Setya Novanto apakah kliennya itu terus bertahan melawan tuduhan KPK atau mau berkompromi.
Setya Novanto menanyakan apa yang dimaksud dengan kompromi. Otto menjelaskan ,kompromi yang dimaksudkannya ialah Setnov mengakui perbuatannya dan untuk meringankan hukuman terhadapnya ia akan bertindak sebagai Justice Collaborator (JC) untuk KPK.
Tentu yang dimaksud sebagai JC disini ialah Setnov akan memberi informasi yang seluas luasnya kepada KPK tentang siapa saja yang terlibat dan menerima aluran dana dari mega korupsi tersebut. Apabila Setnov bersedia melakukan peran ini maka sebagai imbalannya ,Ketua Umum Partai Golkar tersebut akan memperoleh keringanan hukuman.
Terhadap tawaran yang demikian ,Setnov mengatakan bagaimana mungkin ia akan menjadi JC karena ia sendiri tidak ada melakukan tindakan korupsi dalam pengadaan e- KTP. Pernyataan Setnov ini menunjukkan ia beserta kuasa hukumnya akan terus fight melawan tuduhan yang dilontarkan oleh komisi anti rasuah tersebut.Berbagai upaya hukum tentu akan dilakukan untuk mematahkan semua argumentasi hukum yang digunakan oleh KPK.
Perlawanan hukum Setnov yang paling dekat untuk kita saksikan ialah sidang pra peradilan yang akan dilaksanakan tanggal 30 November 2017 ini. Diperkirakan fokus utama argumentasi hukum yang akan digunakan ialah KPK tidak berwenang lagi menetapkan Setnov sebagai tersangka untuk kedua kalinya karena Sidang Pra Peradilan 29 September 2017 telah menyatakan penetapan Setnov sebagai tersangka pada dugaan kasus e - KTP adalah tidak sah.
Artinya asas Nebis In idem harus diterapkan oleh KPK. Mungkin karena yakin akan menenangkan sidang pra peradilan tersebut maka Setnov dari ruang tahanan Rutan KPK menulis dua buah surat. Surat pertama ditujukan kepada DPP Partai Golkar yang isinya ,agar menghunjuk Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar dan surat kedua ditujukan kepada DPR RI agar tidak membahas atau membicarakan penggantian Ketua DPR RI.
Terhadap surat Setnov tersebut pleno DPP Partai Golkar, Selasa, 21 Novenber telah menghunjuk Idrus Marham sebagai Plt Ketua Umum .Artinya saran atau permintaan Ketua Umumnya yang sedang ditahan itu dipenuhi oleh partai . Partai Golkar juga telah menunjukkan sikap agar DPR RI jangan dulu membahas tentang penggantian Ketua DPR.
Sikap Golkar  yang demikian mungkin untuk menghargai permintaan Setnov atau juga mungkin meyakini Setnov akan memenangkan sidang peradilan nanti.
Beranjak dari hal hal tersebut diatas maka Sidang Pra Peradilan 30 November nanti merupakan titik penting untuk melihat kelanjutan posisi hukum Setya Novanto dalam dugaan kasus korupsi e-KTP.
Selanjutnya menarik juga untuk mencermati persiapan KPK menghadapi sidang Pra Peradilan tersebut. Banyak ahli hukum menyarankan agar sebelum 30 November ,KPK melimpahkan kasus Setnov ke Pengadilan karena kalau berkas sudah dianggap lengkap atau P 21 maka kasus yang demikian tidak dapat lagi diajukan pada pra peradilan.