Kepala Biro Kesekjenan DPR RI Hani Tahapsari telah menghantarkan surat pimpinan DPR RI ke KPK pada Selasa,12 September 2017. Isi surat tersebut ialah meminta agar KPK menunda pemeriksaan Setya Novanto hingga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan putusan terkait dengan gugatan praperadilan yang diajukan Setnov.Â
Surat tersebut bukanlah surat biasa.Karena surat dimaksud bisa dianggap sebagai bentuk intervensi parlemen terhadap sebuah proses hukum yang sedang diselenggarakan KPK. Proses praperadilan adalah hak seorang warga negara yang bernama Setya Novanto untuk mengajukan gugatan ,sedangkan pemeriksaan terhadap dirinya juga merupakan kewenangan yang dimiliki KPK. Ada tiga  hal yang layak dicermati berkaitan dengan surat pimpinan DPR terhadap KPK
tersebut.
Pertama ialah apakah surat tersebut termasuk upaya untuk menghalang halangi proses hukum yang sedang berlangsung ,kedua ternyata surat tersebut telah memunculkan kegaduhan pada internal DPR dan yang ketiga munculnya komentar di internal masing masing partai.Â
Sekitar dua minggu yang lalu ,Agus Rahardjo,Ketua KPK telah berbicara tentang kemungkinan penggunaan pasal " obstruction of justice" atau perbuatan yang menghalang- halangi proses penegakan hukum terhadap Panitia Khusus Hak Angket DPR RI. Kalimat Ketua KPK tersebut memang  ditujukan kepada Pansus dan bukan kepada pimpinan DPR.Tetapi kalau KPK menganggap substansi surat pimpinan parlemen tersebut sudah memasuki ranah " obstruction of justice" maka sudah saatnya lah komisi anti rasuah tersebut menggunakan pasal dimaksud kepada pimpinan DPR penandatangan surat.
Ada yang menyebut surat DPR dimaksud adalah surat biasa yang menyampaikan aspirasi warga .Tapi rasanya pandangan seperti ini tidak punya dasar pijakan yang kuat karena surat tersebut dengan jelas dan tegas meminta agar KPK menunda pemeriksaan Setya Novanto hingga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberi putusan terhadap pra peradilan yang diajukan Setnov.
Disisi lain surat tersebut ialah yang berhubungan dengan Setnov,Ketua DPR RI yang sudah dinyatakan oleh KPK sebagai Tersangka pada kasus dugaan korupsi e-KTP. Dengan pemahaman yang demikian tidak salah kalau diambil kesimpulan bahwa pimpinan DPR melalui suratnya bertujuan untuk memengaruhi pimpinan KPK untuk menunda pemeriksaan Setnov. Karenanya sekarang terpulang kepada Kuningan untuk menyikapi surat DPR dimaksud.Dengan perkataan lain apabila telah terbukti terpenuhinya unsur unsur Obstruction of Justice ,beranikah Kuningan melanjutkannya menjadi proses hukum?
Kemudian publik juga mencermati adanya bantahan dari pimpinan DPR lainnya yang berkaitan dengan surat pimpinan DPR dimaksud. Agus Hermanto,Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat mengaku tidak mengetahui soal surat penundaan pemeriksaan Setya Novanto.Ia mengatakan kemungkinan karena dirinya baru masuk (kantor) beberapa hari ini setelah pergi haji.
Wakil Ketua DPR lainnya Taufik Kurniawan dari Fraksi PAN menolak kalau dikatakan jika surat yang dikirimkan ke KPK itu disebut atas nama pimpinan DPR .
Kalau memang kedua wakil ketua tersebut tidak mengetahui tentang surat ke KPK yang ditandatangani Fadli Zon itu ,apakah hanya cukup sebatas mengeluarkan statemen pers.Apakah tidak ada mekanisme lain pada internal pimpinan DPR untuk misalnya mengatakan bahwa surat dimaksud tidak sah mengatasnamakan pimpinan DPR.
Berkaitan dengan surat pimpinan DPR tersebut terlihat juga muncul komentar pada internal Gerindra. Ahmad Muzani ,Sekretaris Jendera Partai Gerindra , menyayangkan anggota fraksinya yang duduk sebagai Wakil Ketua DPR ,Fadli Zon ,menanda tangani surat tentang Setya Novanto ke KPK. Menunjukkan kekesalan hatinya kepada Fadli Zon ,maka Ahmad Muzani seolah olah berkata kepada Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra tersebut " Kenapa elo tulis surat kayak begituan ?".Saya mau tanya kata Muzani di Kompleks Parlemen ,Senayan,Jakarta,Rabu (13/92017;Kompas.com).
Menurut Muzani surat seperti itu harus diproses sesuai aturan DPR yakni harus melalui Rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk meminta persetujuan semua fraksi. Kalau dicermati terlihatlah munculnya berbagai kegaduhan semenjak jaksa KPK menyebut puluhan nama mantan/anggota DPR RI Â tersangkut dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Berkaitan dengan hal tersebut tidak dapat dielakkan sekarang ini publik seolah olah mempersaksikan  pertarungan kehormatan dua lembaga besar di negeri ini,KPK dan DPR RI. Berbagai manuver baik dalam bentuk hukum dan politis terlihat digelar dan belum bisa diramalkan bagaimana nantinya akhir pertarungan ini.