Sebahagian besar dari kita tentu mengenal Franz Magnis Suseno. Tokoh Katolik ini lahir di Eckersdof, Polandia pada 26 Mei 1936. Magnis Suseno datang ke Indonesia pada tahun 1961 untuk belajar filsafat dan theologia di Yogyakarta. Setelah ditasbihkan sebagai pastor, ia ditugaskan untuk belajar filsafat di Jerman sampai berhasil meraih gelar doktor di bidang filsafat dengan disertasi mengenai Karl Marx.
Selain sebagai pastor yang akrab dipanggil Romo Magnis, sosok ini juga dikenal sebagai budayawan. Romo Magnis juga dikenal sebagai seorang Direktur Program Paska Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Mendengar nama Romo Magnis sekaligus muncul 4 gambaran tentang dirinya yaitu, tokoh Katolik, ahli filsafat, budayawan dan juga tokoh pendidik. Romo Magnis sering kita dengar berbicara tentang etika dan dua buah bukunya yang berkaitan dengan hal ini antara lain Etika Jawa dan Etika Politik. Romo Magnis juga kita kenal sebagai tokoh yang sering berbicara tentang kepentingan masyarakat serta mengkritik ketidak adilan.
Demikianlah kali ini, budayawan dan ahli filsafat ini berbicara tentang Larangan Sepeda Motor di Jakarta. Sebagaimana kita ketahui Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memperluas kebijakan larangan sepeda motor dari yang awalnya yang hanya disepanjang Jalan Thamrin akan diteruskan hingga Jalan Sudirman sampai Bundaran Senayan.
Berkaitan dengan rencana kebijakan Pemprov DKI itu ,Frans Magnis berharap larangan sepeda motor dibatalkan."Saya tentunya mengharapkan dibatalkan ,mengharapkan tidak ada larangan penggunaan sepeda motor" ,kata Franz saat dihubungi Kompas.com,pada Rabu,6/9/17.
Selanjutnya Kompas.com memberitakan,Franz yang mengaku kerap mengenderai sepeda motor jenis skuter ini, melontarkan kritikan keras kepada pemerintah mengenai kebijakan perluasan larangan sepeda motor. Romo Magnis menilai kebijakan itu tidak diimbangi dengan solusi dan pemerintah dinilainya tidak berpihak kepada warga kelas menengah ke bawah.
Franz Magnis Suseno selanjutnya mengatakan jika wacana memperluas larangan penggunaan sepeda motor diterapkan itu sama dengan kekerasan pada warga Jakarta yang berada pada kelas menengah kebawah.Romo Magnis mengatakan" Saya ingin membuat jelas bahwa itu tidak adil dan dianggap sebagai suatu kekerasan kelompok (oleh) sekarang yang sudah kaya.Sangat tidak benar kalau orang yang hiidupnya sudah berat jadi semakin berat oleh orang yang hidupnya gampang".
Kritik Romo Magnis terlihat lebih keras lagi melalui kalimat " Saya anggap kebijakan itu semacam kesombongan dan kekasaran mereka yang pakai mobil, terganggu oleh mereka yang pakai motor dan memanfaatkan kesempatan untuk membatasi". Pada poin inilah menarik untuk mencermati kritik Romo Magnis ini.
Tokoh Katolik ini bukan berbicara tentang macetnya jalan protokol Thamrin atau Sudirman karena dipenuhi oleh sepeda motor tapi tokoh filsafat ini berbicara tentang pemerintah yang tidak berpihak kepada warga kelas menengah kebawah.Dengan bahasa yang lebih bebas, tidak salah kalau menapsirkan yang dimaksud Romo ini adalah persoalan  ketidak adilan.
Mengikuti alur pikir Romo Magnis terlihat bahwa pemerintah (DKI) lebih berpihak kepada golongan menengah keatas. Seperti argumentasi yang banyak dikemukakan anggota masyarakat ,kalaulah alasan pelarangan sepeda motor di kawasan Sudirman karena kemacetan lalu lintas lalu muncul pertanyaan apakah mobil yang melintasi kawasan itu juga tidak menyebabkan kemacetan?
Kalaulah juga mobil membuat jalanan menjadi macet lalu kenapa seolah olah "kesalahan" ini ditimpakan hanya kepada pengendara sepeda motor. Tentulah setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan asas keadilan yang diperlakukan sama untuk setiap warga negara.