Pada sidang uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang yang digelar di Mahkamah Konstitusi,Rabu,30 Agustus 2017, Menteri Dalam Negeri,Tjahjo Kumolo yang mewakili pemerintah ,menayangkan video rekaman Muktamar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang digelar di Gelora Bung Karno ,Senayan ,Jakarta,pada tahun 2013.
Berbekal informasi yang diperoleh dari Kompas.com ,30/8/17, menarik juga untuk mencermati isi video tersebut.
Dalam video tersebut terlihat tampil menyampaikan orasi salah satu petinggi HTI.Dihadapan para anggota lainnya ,ia menyebutkan perihal 4 pilar Khilafah yang memerintahkan massa HTI melakukan perubahan.
Empat pilar tersebut ialah:
Pertama,menyerukan untuk meninggalkan hukum dan sistim jahiliyah dengan menegakkan hukum Syariat Islam. Kedua,menyerukan agar ada perubahan kekuasaan dari tangan para pemilik modal menjadi milik ummat. Ketiga,meminta untuk meninggalkan sekat sekat nasionalisme.
Petinggi organisasi HTI itu menyatakan " Arah perubahan ketiga ,hancurkan sekat sekat nasionalisme yang telah memecah belah kita semua .Angkat satu orang khalifah untuk menyatukan ummat".
Keempat,menyerukan untuk meninggalkan hukum perundang undangan buatan manusia serta voting. Selanjutnya dinyatakan ,dengan menyerahkan sepenuhnya kepada khalifah yang mengambil salah satu pendapat hukum terkuat."
Inilah empat perubahan yang harus kita lakukan adalah perubahan untuk menegakkan khilafah" tutup video tersebut.
Dari isi orasi tersebut ada beberapa poin yang dapat ditangkap.
Pertama, hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hukum jahiliyah karenanya harus diganti dengan  hukum Islam.
Sementara kita mengetahui Indonesia sudah punya sistim hukumnya sendiri dan juga punya hukum positif yang berlaku di republik ini.
Kemudian  didalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 tidak pernah ditemukan kata yang menginginkan tegaknya syariat Islam di negeri ini.
Memang menjelang kemerdekaan ada keinginan sebahagian Ummat Islam untuk memformalkan penegakan syariat Islam dalam rumusan Undang Undang Dasar seperti yang dinyatakan dalam Piagam Jakarta,22 Juni 1945.Tetapi kemudian rumusan " Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" telah dihapus oleh para pendiri negara sehingga rumusannya menjadi " Ketuhanan Yang Maha Esa".