Malaka nama yang cukup familiar kita dengar. Mungkin untuk sebahagian dari kita nama Malaka lebih awal akrab di telinga ketimbang Kuala Lumpur. Sewaktu anak-anak kita sudah mendengar adanya Selat Malaka. Malahan dulu ada lagu Malaysia yang populer dan salah satu baitnya menyatakan "dari Melaka ke Negeri i Pahang".
Pelajaran sejarah di sekolah dulu juga selalu menyebut Malaka yang selalu diperebutkan oleh berbagai kekuatan para penjajah. Mungkin banyak Kompasianer yang sudah sering ke Malaka tetapi saya baru dua kali berkunjung ke negeri yang memendam sejarah masa lalu yang kaya itu. Kunjungan pertama saya ke Malaka tahun 2015 dan kunjungan kedua pada 5 Agustus 2017 yang lalu.
Dengan menumpang mobil teman, kami berangkat dari Kuala Lumpur melalui jalan tol yang di Malaysia disebut Lebuh  Raya. Jalan tol yang begitu mulus kami lewati dan sekitar 3 jam perjalanan, tibalah kami di Malaka.
Begitu memasuki Malaka, ada semacam perasaan ganjil mulai menghinggapi batin saya. Mulai terbayang bandar Malaka yang pastinya sejak dari dulu sudah merupakan pelabuhan laut internasional. Para "orang putih" sejak dulu sudah silih berganti datang ke bandar ini. Ada yang berniat tinggal disana  untuk beberapa lama tetapi ada juga yang sekedar singgah kemudian melanjutkan perjalanannya ke tempat lain.
Tentulah bandar Melaka merupakan bandar yang ramai dipenuhi oleh kapal-kapal layar. Memasuki kota Melaka, mulai terasa kemacetan karena seperti yang dikatakan teman-teman di Kuala Lumpur pada hari Sabtu dan Minggu para pelancong dari Semenanjung Malaya dan juga dari Singapura banyak yang berkunjung ke kota ini.
Dari berbagai sumber  yang saya peroleh, Pemerintah Malaysia dan juga Pemerintahan di Malaka telah berjaya menata sebuah lokasi yang diatasnya berdiri bangunan-bangunan bersejarah. Malahan penataan dan pemugaran pada lokasi tersebut mendapat pengakuan dari UNESCO, sebuah badan PBB yang bergerak dibidang kebudayaan dan pendidikan.
Sebelum memasuki kawasan bersejarah, kami singgah sebentar untuk makan siang yang menyajikan masakan kampung ala Melayu. Makanan di restoran tersebut tidak terlalu mahal. Pada papan menu yang dilengketkan di dinding ada catatan bahwa semua harga makanan di restoran tersebut dipantau oleh sebuah badan yang mungkin kalau di Indonesia sejenis Lembaga Perlindungan Konsumen. Menurut saya hal ini penting karena di beberapa lokasi wisata di negeri kita adakalanya terasa harga yang ditawarkan mencekik leher, kemahalan. Kalau hal seperti ini terjadi tentu untuk berikutnya para wisatawan akan malas berkunjung lagi.
Dengan pengalaman kecil di Warung nasi tersebut saya sudah mendapat gambaran awal bagaimana Malaysia mengemas tempat tempat pelancongannya. Mobil kami parkir agak jauh dan mulailah kami jalan kaki dan memperhatikan satu persatu bangunan bangunan tua yang ada di lokasi tersebut.
Terlihatlah bangunan-bangunan tua yang ada tertata dan terpelihara dengan rapih. Bangunan-bangunan ini memberi tanda betapa pentingnya Malaka di masa lalu. Jujur diakui, karena usia sudah kepala enam dan waktu itu sinar matahari mulai terasa menyengat saya, berjalan agak perlahan dan kemudian tibalah kami di pintu gerbang sebuah benteng yang disebut A Famosa yang dalam bahasa Portugal berarti "terkenal".
Menurut beberapa buku sejarah, benteng ini merupakan salah satu sisa Arsitektur Eropa paling tua di Asia. Gerbang kecil, pintu masuk ke benteng yang disebut Porta De Santiago merupakan satu satunya bagian benteng yang masih utuh. Dari prasasti yang ada di pintu gerbang benteng, diketahui lah benteng ini dibangun tahun 1511 oleh Alfonso D' Alboquerque. Admiral Portugal ini menaklukkan Malaka pada 10 Agustus 1511 sehingga Sultan Malaka melarikan diri ke Riau.
Malaka kemudian dijadikan Portugal sebagai basis pangkalannya dan dari Malaka, Portugal memperluas rentang kekuasaannya ke arah timur ke daerah-daerah penghasil rempah-rempah seperti Maluku. Pada Desember 1511, Admiral Alfonso mengirim tiga kapal dibawah pimpinan Antonio de Abreu menuju Madura, Bali, Lombok, dan Aru.