Seorang yang terlihat lemah, tidak punya power dari gerak geriknya bawaannya slow saja tidak terlihat dari dirinya ada tanda-tanda kemampuan layakanya kesatria dalam segala hal termasuk bekerja untuk kemaslahatan masyarakat, bisa saja berperan sebagai pemimpin wilayah, lingkunan,  sehingga muncul penilaian dari orang-orang mengatakan "tidak ada itu, tidak ade ide" bagaimana dia bisa membangun dan memajukan suatu masyarakat yang dipimpinnya.
Hal tersebut memang manusiawi, karena yang tampak yang bisa dinilai langsung yang belum tampak kan tidak bisa kasih nilai, apa yang mau dinilai sesuatu yang terlihat tidak ada, disinilah manusia merasa paling bisa, merasa paling top, sehingga spontan memberikan nilai kepada orang lain, padahal belum tentu seperti itu sudah suuzon, belum berjalan programnya, belum  beroperasi sudah angkat bicara. Hal ini sama dengan orang yang mau bekerja  "ah tidak bisa ini, padahal belum dikerjakan",  belum berbuat  sudah bicara hasil.
Realitasnya pasti beda apa yang direncanakan dengan yang  dipraktekkan ini menjadi hukum alam, planning sudah bagus tapi aksi nyata pasti ada yang tidak sesuai walaupun sedikit, syukur sedikit kalau banyak pasti kata orang jauh panggang dari api, masih jauh dari harapan, nah itu kan terbukti itulah yang disebut dinamika, jangankan rencana yang dibuat oleh manusia, dalam Islam pun dikenal istilah dinamika yaitu ada perubahan sesuai perkembangan zaman.
Salah satu prinsip ajaran Islam itu sendiri adalah dikenal dengan shalih ala kulli zaman  wa makan maknanya adalah relevan dengan perkembangan zaman, bahkan Al-Qur'an saja disebut shalih li kulli zaman wa makan, al-Qur'an akan sesuai dengan perkembangan zaman sekalipun zaman sudah maju dan modernisme, secara ringkas berarti shalil li zaman wa makan adalah relevan dengan modernisme.
Artinya adalah tidak ada yang tidak mungkin, kata orang hidup ini seperti roda ia akan berputar, begitu juga dalam kehidupan kita ada saatnya diatas ada pula nanti saatnya kita akan merasai hidup dibawah, kalau orang sudah terbiasa hidup dari bawah ia tidak kaget kalau ia kaya lalu tiba-tiba jatuh, sebaliknya kalau orang di atas saja lalu tiba-tiba jatuh biasanya ini akan sulit menerima keadaan dengan menolak takdir ia menjadi stres.Â
Lalu kenapa kita  mudah menghakimi seseorang  dengan secepat itu mengatakan "tidak ada itu" banyak omongan aja itu, dengan entengnya lidah kita berucap seperti itu, manusia itu lemah Tuhan lah yang menjadikan ia kuat, kalau Allah berkehendak memberikan seseorang kekuatan apa yang tidak mungkin bagi Allah, inilah yang dikenal dengan sifat jaiz bagi Allah fi'lu mumkini au tarkuhu, Allah punya hak prerogatif tergantung Allah mau Allah buat hebat, mau Allah buat lemah itu terserah Allah.
Bagusnya kita harus berguru kepada al-Ghazali dalam  hal ini seperti disebutkan dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah sebagai berikut :Â
"Sebaikanya engaku tidak melihat siapa pun kecuali engaku menganggap dia lebih baik darimu, dan bahwa kelebihan dan keutamaan ada padanya, bukan pada dirimu yang penuh dengan kekurangan, jika melihat anak kecil katakanlah dalam dirimu, Dia ini tidak banyak maksiat kepada Allah, karena masih kecil sedangkan aku banyak maksiat kepada Allah, maka jelas dia lebih mulia dariku. Jika engkau melihat orang yang lebih Tua berkatalah, orang ini menyembah Allah sebelum diriku, maka jelas dia lebih baik dariku,"
Andaikan kita amalkan pesan Imam Al-Ghazali tersebut tentunya kita tidak mudah menghakimi seseorang dengan hawa nafsu kita, tidak mudah mengganggap orang enteng, dengan mengatakan diri kita lebih hebat dari orang lain, secara tidak sadar kita sudah berani berteman dengan Iblis yang notabenenya dikeluarkan dari keindahan karena angkuh terhadap dirinya.
Mulailah hidup ini dengan penuh saling menghormati, menghargai leluhur, menghormati ulama dengan kealiman dan keilmuannya, pengayom bagi yang tertindas, suluh bagi kegelapan, menjadi obat ditengah masyarakat bukan sebaliknya menjadi penyakit bagi masyarkat. []