Bu Prani, guru BK kuat dalam menghadapi liarnya video sekelebat berdurasi 15 detik yang dicap bejat oleh masyarakat. Guru BK ini sering menghadapi serta mengatasi sikap dan sifat murid-muridnya yang dirasa kurang baik dengan memberikan refleksi di luar kurikulum sekolahnya. Ia mempunyai seorang putri introvert yang bergabung dalam sebuah band dan mempunyai usaha thrift shop sendiri, seorang putra influencer berambut pirang yang menginspirasi orang-orang dari kehidupan berbagai binatang, dan suami yang depresi bahkan hampir bipolar karena bisnisnya selalu gulung tikar akibat pandemi yang luas menjalar. Seandainya mereka hidup di zaman purba yang serba sederhana dan tidak ada media massa, kiranya mereka akan hidup sejahtera dan sentosa. Memang tidak dapat dipungkiri lagi, kini mereka hidup di zaman yang serba dikendalikan oleh ponsel pintar dengan layar yang hobinya disentuh-sentuh lalu bergetar ketika menerima informasi tidak benar. Dengan merekalah sebagai tokoh utama dalam film karya Wregas Bhanuteja itu bisa menancapkan makna yang tidak akan terlena oleh masa: Budi Pekerti menceritakan kisah yang begitu melekat, dekat, dan erat dengan kehidupan berbagai kalangan masyarakat di seluruh jagat.
Ketika saya akan menonton film ini, tentu saja hal pertama yang dilihat dan dicermati adalah bagian judul dari film tersebut. Budi Pekerti, bagi saya judul tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa, hanya dengan dua kata saja bisa mencerminkan beribu makna yang begitu dekat dengan perilaku dan perbuatan suatu individu yang dilakukan secara sadar dalam suatu kehidupan. Awalnya, tujuan saya menonton film ini hanya sebagai bentuk pelarian dari penatnya hiruk pikuk dunia perkuliahan dan percintaan yang tidak kunjung menjemput kejelasan. Namun ternyata, bagi saya yang menyandang gelar mahasiswa sastra, ketika menonton sebuah film tidak bisa dilewatkan atau disia-siakan begitu saja tanpa menganalisis minimal satu bagian unsur dari film tersebut. Sebuah film tentu saja akan memiliki beberapa poin penting yang menonjol dan mampu menghidupkan alur film tersebut. Ada tiga permasalahan yang berhasil terkenang dan meninggalkan genangan anggapan di benak saya terhadap situasi di era masa kini dan gambaran masa depan, yaitu mengenai cancel culture, mob mentality dan virality dalam media massa.
Media massa dalam ponsel pintar yang kerap membuat kita terlena mulai dari terbangun hingga terlelap tidur lalu mendengkur tentu saja memiliki dampak positif dan dampak negatif terhadap kehidupan para penggunanya, sebagian besar dalam film ini membahas hal tersebut. Salah satu dampaknya adalah cancel culture, bagaimana seseorang atau bahkan sebuah keluarga mendapatkan penghakiman dari suatu kelompok atau masyarakat atas perilaku yang dianggapnya tidak pantas dan tidak sesuai dengan norma yang telah ditetapkan baik secara tersurat maupun tersirat oleh lingkungan setempat.
Kasus cancel culture ini dicontohkan oleh keluarga Bu Prani yang mendapatkan penghakiman dari masyarakat dan lingkungannya serta para pengguna media massa. Masalah ini berawal ketika Bu Prani sedang menunggu tiket antrian kue putunya, kemudian melihat seorang pria dengan baju bergambar elang mencoba menyerobot antrian. Bu Prani yang geram melihat perilaku culas pria itu tentu saja menegurnya terlebih dahulu dengan baik-baik, memang pepatah "Mana ada maling yang mengaku maling" itu benar adanya. Ditegur baik-baik pun malah memberontak dan melontarkan berbagai macam cacian serta makian dibarengi dengan nada tinggi, mata menyala, dan badan besar kekar yang siap memukul Bu Prani karena tidak terima ditegur dan dituduh. Kebetulan sekali, saat Bu Prani mengucapkan kata "Ah suwi" yang berarti "Ah lama" ada orang yang merekamnya dan menyangka bahwa Bu Prani mengucapkan kata "Asui" yang berarti "Anjing" kepada nenek penjual kue putu. Potongan video berdurasi 15 detik itu menjadi viral dan banyak orang yang memandang dan menghakimi buruk perilaku Bu Prani.
Cancel culture ini mampu menyeret masalah-masalah lain seperti virality dan mob mentality, kenapa masalah-masalah itu menjadi sesuatu yang kompleks? Sejauh mana kekompleksan masalah itu terjadi, tentu saja diawali dengan adanya batasan atau norma dari lingkungan masyarakat itu sendiri. Berhubung zaman sekarang sedang gencar-gencarnya dilanda virus memotret lalu mengunggah segala hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di media massa, maka cancel culture yang ada di masyarakat bisa viral dalam hitungan detik saja. Menurut perspektif saya, pemicu keviralan itu terjadi karena adanya suatu perilaku abnormal yang tidak sesuai dengan batasan dan norma dalam suatu masyarakat, sehingga sesuatu yang tidak biasa itu menjadi viral diperbincangkan hingga menyebar hingga kemana-mana melalui media massa.
Masyarakat maya bisa berasumsi apapun tentang fenomena yang sedang hangat diperbincangkan, baik melontarkan komentar negatif maupun positif. Kebanyakan dari mereka menilai suatu isu itu dari sisi kelamnya saja, mereka menghakimi sesuka hati tanpa memahami dan meneliti lebih lanjut terhadap kasus terkini. Komentar-komentar pedas yang terlontar dengan lancar itu akan menjalar lalu menular pada penalaran masyarakat maya lainnya, sehingga muncullah istilah mob mentality yaitu kecenderungan mengikuti atau meniru pola pikir dan keputusan dari suara mayoritas tanpa memperdulikan kebenaran mengenai permasalahan yang sedang terjadi.
Mob mentality ini biasanya menyerang para remaja labil yang belum memiliki pegangan dalam mengambil keputusan atau bisa dibilang cuma "ikut-ikutan". Di sini, benar dan salah ditentukan oleh komentar warganet itu sendiri, ke arah mana suara itu mengarah maka disitulah akan ditemukan jawaranya, hal ini sesuai dengan kutipan yang diambil dari dialog Muklas bahwa "Salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak ngomong!". Fenomena inilah yang paling membahayakan, karena label kebenaran sudah tidak dihargai bahkan obor yang sumbunya dibakar bersama-sama bisa saja dianggap sesuatu yang benar meskipun itu hal yang salah.
Media massa itu ternyata memiliki power yang sangat kuat, apabila seseorang itu salah dalam menggunakannya bisa menjadi salah satu cara untuk menghancurkan banyak orang bahkan bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Kini, ketikan warganet bisa lebih kejam dari ghibahan para tetangga, bayangkan saja kita tidak pernah saling bercengkrama, bertatap muka ataupun bermain bersama, tetapi kita bisa menghujat dan menghakimi perbuatannya seakan-akan tahu segalanya. Apakah hal itu kurang mengerikan? Banyak mental orang-orang biasa (bukan dari kalangan publik figur) yang tidak tahan dan terganggu oleh komentar-komentar di media massa sehingga membuat mereka depresi dan hidup tidak tenang. Ngomong-ngomong soal mental, di kalangan generasi Z sudah menjadi hal yang lumrah bahkan sering dijadikan istilah untuk sesuatu yang dirasa menyakitkan. Namun, hal itu menjadikan generasi Z selalu mengeluh dan susah menerima sesuatu yang terlalu tegas dengan dalih "kena mental".
Saya rasa, pendidikan mengenai tata krama bermedia massa yang baik itu perlu dilakukan. Sejak kecil, kita memang sering diajarkan mengenai sopan santun dan budi pekerti dalam kehidupan nyata oleh orang tua dan guru di sekolah. Namun, bagaimana kita berperilaku sopan santun di media massa itu tidak pernah ada yang mengajarkan. Anak-anak dan remaja bebas terjun dan menyelam dalam hiruk pikuk bermedia massa tanpa adanya pegangan dan dasar yang mendampingi mereka. Kenapa kalangan anak-anak dan remaja yang difokuskan dalam hal ini? karena kebanyakan penghuni media massa itu bermula dari kalangan tersebut. Mereka lebih rawan terpengaruh dan terbawa arus tidak baik bermedia massa, mengingat bahwa mereka masih memiliki pemikiran yang labil.
Kesempurnaan memang hanya milik-Nya, sehingga di sisi lain film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Salah satu kekurangan yang saya soroti adalah di bagian ending, saya merasa ending dari film ini cukup menggantung atau bisa disebut "kagok". Perasaan penonton kurang terbawa dan terarahkan untuk masuk ke happy ending atau sad ending. Apalagi bagi penonton awam yang hanya menjadikan film ini sebagai hiburan semata, akan sulit untuk memahami ending dari film ini. Bahkan sepanjang menonton film ini, perasaan saya sebagai penonton kurang diobrak-abrik secara brutal. Film ini memang banyak menggunakan semiotik-semiotik yang mendukung jalan dan pemaknaan cerita. Di bagian ending juga terdapat semiotik yang mengarah pada kepercayaan masyarakat Jawa, kepercayaan apabila memakan bakso di pinggir jalan akan mendatangkan rezeki yang tidak pernah dibayangkan dan sebagai pertanda baik untuk hal-hal yang akan dilakukan di masa depan. Semiotik inilah yang meyakinkan saya bahwa ending dari film ini adalah sad ending meskipun kesedihan di sini kurang bisa dirasakan secara brutal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H