Mohon tunggu...
Mara Nur Asifa
Mara Nur Asifa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran

Mahasiswa aktif semester 5 Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Film

Bila Esok Ibu Tiada: Sebuah Seruan untuk Menghargai Waktu Bersama Keluarga

29 Desember 2024   15:26 Diperbarui: 29 Desember 2024   15:22 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Industri film di Indonesia terkenal dengan kegemarannya dalam menyetir dan menghasut selera pasar untuk terus kelaparan dengan film bergenre horor. Hal itu terbukti dengan sesaknya dinding-dinding bioskop dipenuhi oleh poster-poster yang menyangkak bulu kuduk para pengunjungnya. Namun, pada 14 November 2024, para pemuja film di Indonesia berhasil dikejutkan dengan munculnya film bergenre keluarga di tengah-tengah sedang dijarah oleh film horor. Bila Esok Ibu Tiada menjadi salah satu judul poster yang berhasil mengernyitkan alis saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di karpet khas Cinema XXI. Sebagai anak rantau yang memiliki kedekatan lebih dengan ibu, akhirnya hati kecil saya tergerak untuk mendekati loket tiket dan memilih pemutaran film paling cepat dari waktu pemesanan.

Orang tua adalah salah satu aset penting bagi seorang anak. Masalah apa pun yang berani menyentilnya tentu saja mampu membangunkan rasa emosional yang tinggi di relung nurani para anak di luar sana. Film ini mengangkat permasalahan yang sangat relevan antara hubungan anak dengan ibu ketika telah menginjak dewasa. Dikejar berbagai kesibukan dan tuntutan pekerjaan akan menjadi menu masakan sehari-hari bagi orang dewasa. Kesibukan-kesibukan tersebut tentu saja dapat menyita waktu luang untuk bercengkrama atau sekadar menonton sinetron di televisi pada malam hari bersama keluarga. Rahmi, tokoh ibu yang merasakan efek samping dari permasalahan tersebut, berjuang sendiri untuk mendampingi keempat anaknya setelah ditinggalkan oleh Haryo, suami sekaligus ayah dari anak-anaknya.

Awalnya, keluarga ini merupakan keluarga lengkap yang sering menyempatkan untuk menghabiskan waktu bersama dan bahkan bisa dianggap sebagai keluarga impian bagi yang lain. Namun sayangnya, kondisi tersebut tidaklah bertahan lama setelah keluarga ini kehilangan sosok Haryo. Pertengkaran dan perpecahan selalu menghiasi setiap sudut rumah Rahmi. Ranika, anak sulung yang memiliki sikap otoriter kini menjadi tulang punggung keluarga dan selalu mengatur segala hal yang bersinggungan dengan masalah perekonomian keluarga, tetapi ia juga yang sering menyulut sumbu pertikaian di antara saudara-saudaranya akibat dari sikapnya tersebut. Seiring berjalannya waktu, pertikaian lain juga ikut bermunculan dan semakin kacau. Drama lain dimulai ketika Hening memiliki pergaulan yang cukup mengkhawatirkan dengan pacarnya, Rania yang terlihat memiliki kedekatan khusus dengan teman kantornya Ranika, dan Rangga masih belum mendapatkan pekerjaan yang tetap dan layak.

Di sisa umurnya yang telah renta dan mulai dikikis oleh bengisnya penyakit, hati kecil Rahmi selalu menginginkan waktu luang dan perhatian lebih dari anak-anaknya. Namun, hal tersebut sangatlah jarang ia dapatkan karena kesibukan mereka masing-masing. Bahkan suatu hari, Rahmi pun pernah terpaksa mendatangi rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kesehatan sendiri, kesedihan dan luka seorang ibu turut saya rasakan dalam adegan ini. Rahmi yang dulunya selalu mengandalkan sang suami, kini harus berjuang untuk dirinya sendiri. Meringis dalam kesepian dan kesendirian selalu mewarnai hari-harinya sehingga ia mulai merindukan kehadiran suaminya kembali. Hadirnya penyesalan memang selalu datang di penghujung karangan, tidak lama setelah itu akhirnya Rahmi pun ikut menyusul sang suami dengan keadaan keempat anaknya masih sering berseteru.

Kehangatan isu yang dibawakan dalam film ini sangat dekat dengan kehidupan penonton sehingga semua orang bisa menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Hal tersebut bisa menjadi salah satu nilai tambah bagi film ini. Selain itu, plotnya juga sangatlah sederhana sehingga semua kalangan mampu memahami jalannya cerita dengan saksama. Namun, saking sederhananya plot yang dibawakan, menurut saya sendiri film ini lupa memberikan kejutan atau bisa dibilang klimaksnya terlalu biasa. Baru menonton beberapa adegan di awal saja sudah membuat saya bisa menebak-nebak ujung cerita ini akan dibawa ke mana. Ya, ternyata tebakan saya tidak jauh melenceng. Hal ini cukup mengikis motivasi saya untuk menonton hingga selesai. Hampir seluruh bioskop dibanjiri air mata dan rasa kecewa terhadap keempat anak Rahmi, tetapi hati kecil saya hanya tercubit kecil dan tidak sampai meneteskan air mata. Hal itu mungkin karena memang ekspektasi saya di awal terlalu tinggi dan berpikir bahwa semua anak akan merasakan kadar kesedihan yang sama, tetapi ternyata kesedihan itu tak mampu memeluk erat tubuh anak yang masih memiliki keluarga lengkap dan harmonis.

Ada satu properti yang menggelitik mata saya, sepertinya tidak semua penonton sadar akan kehadiran barang tersebut. Di meja rias Rahmi terselip satu produk perawatan bayi, tidak ada yang tahu unsur tersebut memang sebuah kesengajaan atau ketidaksengajaan. Padahal sudah jelas di dalam film ini tidak menunjukkan adanya kehadiran aktor bayi atau anak kecil yang cocok untuk menggunakan produk tersebut. Memang hal tersebut sangatlah sepele dan tidak memengaruhi terhadap jalannya cerita, tetapi dapat mengurangi kepercayaan saya terhadap kematangan persiapan film ini.

Film ini merupakan film adaptasi dari novel yang berjudul sama karya Nuy Nagiga. Proses ekranisasi memang selalu memangkas dan memodifikasi struktur karya aslinya. Hal itu wajar dilakukan mengingat bahwa penerimaan dan selera pasar juga harus disiasati. Setelah menonton film tersebut saya mencoba membaca resensi versi novelnya. Ternyata telah terjadi pengurangan tokoh yang cukup luar biasa, dalam novel aslinya tokoh ibu memiliki 10 anak dan ketika diekranisasi hanya terdapat 4 anak saja. Hal tersebut bisa dimaklumi menimbang bahwa biaya produksi film terutama biaya pembayaran aktor tidaklah semurah yang dibayangkan. Saya sedikit menaruh curiga jika cerita aslinya memiliki kualitas yang lebih baik daripada versi filmnya. Saya baru membaca bab pertama saja sudah mampu membius mata hingga berkaca-kaca. Hal itu memang dikembalikan lagi pada penerimaan penonton dan pembaca.

Bisa ditarik simpulan bahwa film ini berhasil menghadirkan isu yang relevan dan menyentuh hati banyak penonton, terutama mereka yang merasakan kehilangan sosok orang tua. Namun, plot cerita yang sederhana dan kurangnya elemen kejutan membuat film ini terasa kurang memuaskan bagi sebagian penonton. Meskipun memiliki kelebihan dari segi kedekatan tema dengan kehidupan sehari-hari, beberapa detail teknis dan adaptasi cerita yang signifikan dari novel aslinya dianggap mengurangi kualitas film. Secara keseluruhan, film ini menjadi pengingat pentingnya waktu dan perhatian terhadap keluarga di tengah berbagai kesibukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun