Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suara yang Tak Boleh Dibungkam

9 Februari 2025   09:15 Diperbarui: 9 Februari 2025   09:15 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

edisi-Hari Pers Nasional.

Denting mesin ketik di sudut ruangan, gulungan kertas koran yang baru dicetak, hingga notifikasi berita yang muncul di layar ponsel kita hari ini---pers selalu menjadi saksi perjalanan bangsa. Dari era kolonial hingga era digital, kebebasan pers di Indonesia mengalami pasang surut, tapi satu hal tetap: suara kebenaran tak boleh dibungkam.

Jejak Perjuangan Kemerdekaan Pers

9 Februari bukan sekadar tanggal dalam kalender, tetapi simbol perjuangan panjang para jurnalis dan insan pers di Indonesia. Di masa penjajahan, pers digunakan sebagai alat propaganda penguasa. Namun, seiring semangat perjuangan nasional, pers mulai menjadi senjata utama dalam menyuarakan kemerdekaan.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pers mengambil peran krusial dalam menyebarluaskan semangat kemerdekaan. Harian "Merdeka" dan "Suara Asia" menjadi garda terdepan dalam menyebarkan informasi perjuangan rakyat. Namun, pers Indonesia tak selalu berjalan di jalur kebebasan. Di era Orde Lama dan Orde Baru, media-media yang dianggap berseberangan dengan penguasa kerap dibredel, dibungkam, atau bahkan dipaksa tutup.

Barulah setelah Reformasi 1998, kebebasan pers mendapatkan angin segar. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi tonggak utama yang menegaskan bahwa pers harus bebas dari intervensi dan tekanan politik. Tapi, apakah benar pers kita sudah sepenuhnya merdeka?

Ancaman Baru di Era Digital

Di era digital ini, tantangan baru pun muncul. Hoaks, disinformasi, serta tekanan ekonomi dan politik menjadi ancaman nyata bagi kemerdekaan pers. Banyak media yang harus tunduk pada kepentingan pemilik modal, sementara jurnalis independen menghadapi risiko ancaman, intimidasi, bahkan kriminalisasi saat mengungkap fakta.

Selain itu, di era media sosial, setiap orang bisa menjadi "jurnalis" dalam sekejap. Namun, tanpa etika jurnalistik yang kuat, informasi yang beredar bisa menjadi liar dan berbahaya. Ironisnya, kebebasan berpendapat justru sering dihadapkan pada ancaman pasal-pasal karet yang bisa menjerat siapa saja.

Saatnya Bersama Menjaga Kebebasan Bersuara

Hari Pers Nasional bukan hanya milik para jurnalis, tetapi milik kita semua. Kebebasan pers bukan hanya soal wartawan yang melaporkan berita, tetapi juga tentang hak setiap individu untuk berbicara tanpa rasa takut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun