Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengatasi Self-Serving Bias: Kunci Refleksi Diri dan Pertumbuhan Pribadi

12 Januari 2025   10:59 Diperbarui: 12 Januari 2025   10:59 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar by Maran dg Generative AI

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat bagaimana orang cenderung menyalahkan keadaan saat mengalami kegagalan namun mengklaim keberhasilan sebagai hasil usaha pribadi. Fenomena ini dikenal sebagai self-serving bias, yaitu kecenderungan untuk melindungi harga diri dengan menafsirkan kejadian secara menguntungkan diri sendiri. Misalnya, seorang pelajar yang mendapatkan nilai buruk dalam ujian mungkin menyalahkan soal yang terlalu sulit, tetapi jika ia mendapat nilai tinggi, ia akan menganggap itu berkat kerja kerasnya.

Secara filosofis, self-serving bias menunjukkan betapa kompleksnya hubungan manusia dengan kenyataan. Bias ini sering berfungsi sebagai mekanisme pertahanan psikologis untuk mengatasi tekanan emosional. Namun, dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan relasi sosial. Studi oleh Miller dan Ross (1975) menunjukkan bahwa bias ini sering muncul dalam berbagai konteks, dari pendidikan hingga pekerjaan, menegaskan sifatnya yang universal.

Artikel ini akan membahas arti harfiah dan filosofis dari self-serving bias, memberikan contoh nyata melalui cerita, serta menawarkan strategi praktis untuk menghindari perangkap bias ini. Dengan memahami mekanisme ini, kita dapat melangkah menuju refleksi diri yang lebih jujur dan hubungan yang lebih sehat dengan orang lain.

Jadi Apa itu Self-Serving Bias?

Konsep self-serving bias pertama kali diperkenalkan oleh para psikolog Fritz Heider dalam kajiannya tentang atribusi kausal pada tahun 1958, dan diperluas oleh Miller dan Ross pada tahun 1975 melalui studi empiris. Bias ini merujuk pada kecenderungan untuk mengaitkan keberhasilan pada faktor internal seperti kemampuan atau usaha, sementara kegagalan sering kali disalahkan pada faktor eksternal.

Di sebuah kantor yang sibuk, Pati Olla, seorang manajer proyek, duduk dengan ekspresi tegang di ruang rapat kecil. Timnya baru saja menyelesaikan presentasi penting di hadapan klien besar, tetapi hasilnya jauh dari yang diharapkan. "Kenapa mereka tidak menyetujui proposal kita?" Pati berbicara dengan nada frustrasi, menatap rekan-rekannya. "Aku rasa masalahnya ada di departemen desain. Konsep visual kita terlalu membosankan. Juga, tim pemasaran tidak cukup agresif dalam menjual ide."

Rekan kerjanya, Maya, mencoba menenangkan suasana. "Tapi Pati, bukankah kita juga terlambat mengirim revisi terakhir? Klien mungkin merasa tidak cukup waktu untuk mempertimbangkan semuanya." Pati menggeleng cepat. "Itu karena mereka selalu meminta perubahan di menit terakhir. Kita sudah melakukan yang terbaik dengan waktu yang kita punya. Lagipula, strategi dasarnya sudah bagus. Ini bukan salah kita sepenuhnya."

Cerita ini menggambarkan bagaimana self-serving bias sering muncul dalam lingkungan kerja. Ketika proyek gagal, Pati dengan cepat mencari kesalahan pada faktor eksternal atau tim lain, tetapi saat ada keberhasilan, ia cenderung mengambil kredit untuk dirinya sendiri. Sikap ini tidak hanya menghambat evaluasi yang jujur tetapi juga dapat merusak kerja sama tim dan introspeksi pribadi.

Sebagai contoh, jika Pati mampu menerima masukan Maya dan mengakui kekurangan tim, ia dapat belajar memperbaiki proses di masa depan. Sebaliknya, mempertahankan biasnya hanya akan memperkuat pola pikir defensif yang menghambat pertumbuhan pribadi.

Dampak dan Implikasi Filosofis

Secara filosofis, self-serving bias mencerminkan keterbatasan manusia dalam menerima kenyataan secara objektif. Bias ini dapat dianggap sebagai upaya mempertahankan narasi diri yang positif. Dalam perspektif eksistensial, seperti yang diungkapkan oleh Jean-Paul Sartre, manusia cenderung menciptakan "cerita" untuk menjelaskan realitas, termasuk menghindari tanggung jawab atas kegagalan. Hal ini menciptakan ilusi kontrol, di mana individu merasa lebih mampu dari yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun